Kamis, 29 Maret 2012

Studia Humanika: Metode Reduksi dalam Fenomenologi Husserl*

Anggap terdapat pengemis memelas payah ketika Anda sedang melintasi jalanan kota. Tentu, dua pilihan lah yang dapat dilakukan. Memberi uang atau tidak sama sekali. Secara common sense, jika Anda memutuskan untuk memberi sang pengemis, kemungkinan besar Anda akan dicap lebih mementingkan perasaan dibanding proses berpikir. Benarkah seperti itu? Dalam fenomenologi, tidak. Bahwa Anda memutuskan untuk memberi uang kepada sang pengemis, itu merupakan sebuah proses kognisi pula. Bahwa intuisi, yang dikenal dalam ranah psikologi, berbeda maknanya dengan intuisi dalam ranah fenomenologi. Psikologi menganggap intuisi condong kepada empati. Sedangkan intuisi, menurut sudut pandang fenomenologi merupakan eksplorasi akal pada objek. Original intuition, atau intuisi murni merupakan salah satu bahasan fundamental dari fenomenologi Edmund Husserl. Tradisi intuisi yang dikemukakan Husserl ini seolah menjembatani antara epsitemologi rasionalisme (deduktif) dan epistemologi empirisme (induktif). Dasar pemikiran Husserl bermula dari pandangannya mengenai positivisme. Husserl berpendapat, jangan terjebak pada positivisme jika ingin menciptakan ilmu baru. Filsafat, bagi Husserl berbeda dengan ilmu alam. Tidaklah mungkin secara naif filsafat dimulai dari pandangan sains positivisme. Sains positivisme mendasarkan pada anggapan bahwa pengalaman tentang dunia merupakan sesuatu yang “given“. Memang, pengetahuan adalah sesuatu yang “given“, tapi manusia lah yang merumuskan pengetahuan tersebut. Misalkan, gravitasi itu telah ada dari sejak dahulu. Namun, barulah pada tahun 1700-an Isaac Newton merumuskan hukum mengenai gravitasi tersebut.
Intuisi asli atas objek merupakan dasar utama dari operasi akal. Untuk membuat sebuah pernyataan, intuisi asli atas hal-hal itu sendiri berhubungan dengan kehendak kita. Husserl menghimbau para peneliti untuk “back to the things themselves“. Akal tidak dapat dilepaskan dari objek, dan objek tidak bisa dilepaskan dari subjek. Subjek dengan objek antara yang satu dengan yang lain saling hadir, atau menghadirkan dalam level yang sama. Namun, untuk memberi penilaian pada objek, peneliti tidak boleh memberikan pra-anggapan. Segala sesuatu yang menghadirkan dirinya sendiri pada kita secara asli dalam batas bahwa ia hadir sebagai mana diri/adanya. Bagaimana “keaslian” ini dapat diperoleh? Husserl memberikan solusi dengan apa yang ia sebut sebagai “reduksi”. Husserl memaknai bahwa secara metodis, reduksi dapat menempatkan seseorang pada bentuk “transendental”. Dengan bentuk tersebut, diharapkan kita dapat menangkap benda-benda tersebut sebagai mana adanya diri mereka sendiri, terbebas dari pra-anggapan apa pun. Terdapat dua reduksi yang dirumuskan oleh Edmund Husserl, yaitu reduksi eidetis dan reduksi fenomenologis. Reduksi eidetis Reduksi eidetis menuntun peneliti dari kenyataan faktawi kepada esensi yang bersifat umum. Dengan kata lain, peneliti akan memperoleh pengetahuan dari level fakta hingga ke bentuk “gagasan” atau esensi jika mengikuti prosedur dari reduksi ini. Namun, “esensi/gagasan” Husserl bukan generalisasi empiris yang dengan berbagai tipe peneliti lengkapi dalam pengalaman. Kemurnian esensi tidak dipengaruhi dari banyaknya jumlah fakta yang disampaikan. Langkah dari reduksi eidetis, pertama-tama adalah peneliti mulai dengan contoh individual (oknum) yang dibayangkan atau dirasakan secara arbitrer dari hal-hal ini atau itu. Langkah ini mirip pengambilan kesimpulan melalui induktif. Kemudian, secara hati-hati, peneliti mulai menambahkan persepsi, memori, dan fantasi sembari meneliti perubahan-perubahan apa yang terjadi dengan hal-hal tadi. Hal ini dilakukan dengan catatan, proses ini tidak membuat hal tersebut berhenti menjadi halnya itu sendiri. Dengan kata lain, tidak ada manipulasi dalam prosesnya. Perubahan-perubahan yang paling arbitrer secara keseluruhan membiarkan realitas itu nampak sebagaimana adanya. Paling baik, perubahan ini diolah dalam fantasi kita. Melalui perubahan-perubahan alamiah (arbitrer), karakteristik tertentu yang kompleks namun tetap tidak dapat dirasakan sendiri oleh yang mengalami perubahan tersebut. Invarian, muncul secara otomatis dan pasif, tidak ada treatment apapun. Reduksi Fenomenologis Reduksi fenomenologis merupakan sesuatu yang kompleks. Terdapat tiga macam pembagian dari pengertian reduksi fenomenologis itu sendiri. Reduksi fenomenologis, dalam arti yang kaku digambarkan sebagai “bracketing of being“. Keuda, reduksi fenomenologis digambarkan sebagai reduksi atas dunia budaya terhadap dunia pengalaman terdekat/terhayati (lebenswelt). Pengertian yang ketiga adalah reduksi fenomenologis sebagai reduksi transendental yang menuntun kita dari keduniaan fenomenal “aku” menuju subjektivitas transendental. Reduksi fenomenologis berkaitan erat dengan konsep intensionalitas. Konsep intensionalitas adalah bagaimana cara terbaik seseorang dapat mencapai kepastian dari sang objek. Kata “intensional” sendiri mengacu pada arti “pengada sebuah objek”. Namun, pada umumnya tindakan intensional disusun oleh orang dewasa yang sudah memiliki kerangka budaya tersendiri. Bukan oleh tindakan asli, tetapi oleh tindakan-tindakan turunan budaya tersebut. Padahal ada jenis pengada yang dengan caranya sendiri menghadirkan dirinya secara eksklusif. Karena aktivitas intensional tersebut, manusia berbudaya berhubungan dengan apa yang diciptakan oleh kecenderungannya. Makna-makna hal yang diteliti dibangun atas makna-makna tempelan yang disatukan. Jika kita ingin sampai pada suatu cara yang membuat benda nampak kepada kita secara asli, maka kita harus temukan cara. Setidaknya, cara tersebut yang dapat menuntun kita dari yang menyatakan diri dalam tindakan turunan tadi, kepada objek-objek asli dengan tindakan yang paling asli yang kita miliki. Konsekuensinya “makna keseluruhan” tersebut dapat dan harus dianalisis dalam berbagai oknum atau komponen makna yang beragam. Semuanya adalah sebuah intensionalitas. Hal ini mengingatkan peneliti agar jangan cenderung terkungkung dengan budaya yang menyelimuti objek. Setiap komponen makna tidak boleh digeneralisasi, karena satu sama lainnya memiliki karakter yang berbeda. Husserl kemudian mengusulkan sebuah analisis berjuluk “analisis intensional”. Peneliti kembali lagi pada pertanyaan (tentang) tindakan kognitif turunan dan hubungannya dengan pengalaman hidup yang asli (Erlebnisse). Dengan pengada apapun, benda secara asli nampak sebagai mana adanya dalam kenampakan yang paling dekat dengannya.*** 

http://salmanitb.com/2012/03/studia-humanika-metode-reduksi-dalam-fenomenologi-husserl/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar