Oleh: Pedi Ahmad
ABU AL-FUTUH YAHYA BIN HABASY BIN ‘AMIRAK
As-Suhrawardi Al-Kurdi, yang biasa dikenal dengan sebutan Suhrawardi
lahir pada tahun 1153 M./549 H., di Suhraward, sebuah kampung di kawasan
Jibal, Iran. Ia banyak memiliki gelar: Syaikh al-’Israq, Al-Hakim, Asy-syahid dan Al-Maqtul,
akan tetapi Suhrawardi lebih terkenal dengan julukan al-Maqtul karena
ia menemui kematian tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/1191 M
dan karena itulah ia terkadang disebut guru yang terbunuh.
Meskipun situasi dan kondisi di sekitar
kematian Suhrawardi masih menjadi objek spekulasi, namun informasi
tentang kehidupannya begitu luas. Filosof berpengaruh ini hidup hanya
sekitar tigapuluh delapan tahun. Pada 579 H/1183 M ia bertolak ke
Aleppo, tempat ia menyelesaikan karya utamanya Hikmah al-Israq pada 582 H/1186M. Penulis biografi utamanya, Syams Al-Din Muhammad Syahrazuri, menyatakan dalam Nuzhah Al-Arwah-nya bahwa Suhrawardi berumur tigapuluh tahun saat menuntaskan karya filsafat utamanya yang lain, Al-Masyari wa al-Mutarahat (yang diselesaikan pada 579 H/1183M ).
Pertama-tama, Suhrawardi belajar filsafat
dan teologi kepada Majd Al-Din Al-Jilli di Maraghah, kemudian
mengembara ke Ishafan untuk belajar kepada Fakhr Al-Din Al-Mardini (w.
594H/1198 M) yang konon telah meramalkan kematian muridnya. Juga
diketahui bahwa Zahir Al-Farsi, seorang logikawan, memperkenalkan
Suhrawardi dengan Al-Basha’ir karya logikawan termashur, Umar
Ibn Sahlan Al-Shawi. Fakta ini cukup penting karena karya yang disebut
terakhir ini termasuk karya pertama yang menyimpang dari pembagian baku
sembilan bagian logika—yaitu, sembilan buku dari Organon—dan mengakui
dua bagian: logika formal dan logika material. Suhrawardi kemudian
menggunakan sistem yang yang lebih sederhana ini dalam logika
tiga-bagiannya, yang terdiri dari semantik, logika formal dan logika
material.
Suhrawardi menyusun kebanyakan risalah
utamanya selama sepuluh tahun, waktu yang tidak cukup panjang baginya
untuk mengembangkan dua gaya filsafatnya yang khas—gaya Peripatetik yang
kemudian disusun gaya iluminasionis—seperti yang ditunjukan oleh
beberapa sarjana. Sebenarnya dalam setiap karya utamanya Suhrawardi membuat rujukan silang yang jelas pada risalah-risalahnya yang lain. Ini membuktikan bahwa tulisan-tulisannya disusun kurang lebih bersamaan, atau bahwa karyanya diperbaiki ketika diajarkan dengan mempertimbangkan karya-karya yang lain.
beberapa sarjana. Sebenarnya dalam setiap karya utamanya Suhrawardi membuat rujukan silang yang jelas pada risalah-risalahnya yang lain. Ini membuktikan bahwa tulisan-tulisannya disusun kurang lebih bersamaan, atau bahwa karyanya diperbaiki ketika diajarkan dengan mempertimbangkan karya-karya yang lain.
Segera setelah kedatangan di Aleppo,
Suhrawardi mulai mengabdi pada pangeran Al-Malik al-Zhahir Ghazi,
gubernur Aleppo—yang juga dikenal dengan Malik Zhahir Syah, putra sultan
Ayyubiyyah Shalah Al-Din. Sultan ini dikenal dengan pahlawan besar
perang salib. Pada saat itu Suhrawardi menjadi penasehat pangeran, dan
di sana dia sering berdiskusi atau sekedar memaparkan pemahaman
filosofisnya. Karena ratting Suhrawardi yang meroket, sehingga
menimbulkan kecemburuan terhadap orang-orang sekitar istana: para
Fuqaha, Wajir dan Hakim Aleppo. Mereka melayangkan surat kepada
Shalahhudin al-Ayyubi, dengan alasan Suhrawardi mengajarkan
pemahaman-pemahaman sesat, zindiq (anti agama), karena berlawanan dengan pemikiran para fuqaha. Sultan memerintahkan pangeran agar penasehatnya dibunuh.
Namun, tuduhan-tuduhan kontroversial itu
ditepis oleh gubernur Aleppo, sehingga hukuman mati berubah menjadi
hukuman penjara. Hukuman mati ataupun penjara, jelas itu suatu kesalahan
telak terhadap ketakbersalahan Suhrawardi.
Walaupun kehidupan Suhrawardi
kontroversial, satu hal yang pasti ia mempunyai pengaruh besar pada
pemikiran filosofis berikutnya—terutama Mulla Sadra—suatu fakta yang
disepakati oleh semua penulis biografi.[] Dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar