Senin, 16 April 2012

“Bukti Tentang Pengetahuan Bentuk yang Abadi Dalam Buku Phaedo”

BAB I PENDAHULUAN

A. Penjelasan Umum Tentang Isi Phaedo Secara umum, teks dialog Phaedo ini berisikan tentang percakapan terakhir Sokrates sebelum minum racun. Dialog tersebut diawali dengan cerita Phaedo, seorang murid Sokrates, yang hendak pulang setelah menyaksikan Sokrates dieksekusi. Di tengah perjalanan pulang, Phaedo bertemu dengan Ekhekrates. Kemudian Ekhekrates meminta Phaedo menceritakan tentang semua yang terjadi menjelang eksekusi Sokrates. Akhirnya Ekhekrates menceritakan secara detail tentang semua dialog yang terjadi di dalam penjara tempat Sokrates ditahan. Dalam konteks inilah dialog tersebut dibangun. Terdapat beberapa tokoh yang terlibat dalam dialog tersebut, yaitu Phaedo, Ekhekrates dari Flius, Sokrates, Apollodorus, Simmias, Kebes, Krito, dan penjaga penjara. Inti dari dialog mereka adalah membicarakan tentang jiwa serta kehidupan setelah mati. Teori Plato mengenai idea atau bentuk dan mengenai immortalitas jiwa menjadi topik utama dalam teks dialog Phaedo ini. B. Tempat Topik Ditemukan Secara khusus, pembahasan saya dalam paper ini adalah menemukan dan mengurai mengenai pembukti tentang pengetahuan akan bentuk yang abadi dalam teks Phaedo ini. Kemudian yang menjadi pertanyaan, pada bagian manakah topic tersebut ditemukan dalam teks Phaedo? Setelah melakukan analisis teks, kita akan mulai menemukan topik mengenai pembuktian tentang ide-ide yang abadi ketika dalam dialog mulai membicarakan tentang hakikat dari realitas. Sebagai contoh, tema tentang bukti tentang pengetahuan bentuk yang abadi, secara implisit dapat ditemukan dalam teks Phaedo pasal 65b-67b. Dalam beberapa pasal tersebut mulai memuat gagasan Plato mengenai idea atau bentuk, sesuatu yang terdapat di kawasan entitas, yang hanya bisa dicapai melalui nalar. Lebih lanjut Sokrates berargumen bahwa bernalar adalah kegiatan dari jiwa (65c). Penjelasan mengenai ide-ide yang abadi erat kaitannya pula dengan teori mengenai reminiscentia. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa sebenarnya jiwa sebelum terpenjara di dalam tubuh, ia berada di suatu tempat di mana dia memandang ide-ide yang abadi. Artinya bahwa proses pengetahuan merupakan pengingatan kembali. Ide diingatkan kembali melalui proses reminiscentia. Mengingat kembali ide-ide yang dilihatnya sebelum terpenjara dalam tubuh.

BAB II ANALISIS TEKS

A. Kutipan Teks Di Mana Isi Diperkenalkan Saya akan memulai analisis tema tentang pembuktian akan bentuk yang abadi dalam teks Phaedo ini dengan beberapa kutipan yang menjadi titik tolak atau awal dan alur dialog tentang tema tersebut, yaitu kutipan tentang awal dialog tentang tema, mengenai teori recollection, dan argument pembuktian dari Sokrates: “Tetapi apakah engkau menyentuh dan mengenali hal-hal semacam itu dengan indra lain apa pun yang dating dari tubuh? Aku sedang berbicara mengenai hakikat dari segala hal semacam itu, mengenai hakikat kebesaran dan kesehatan dan kekuatan dan, pendek kata, hakikat segala sesuatu lainnya, apa pun ini. Apakah kebenaran paling sejati mengenai semua hal semacam itu dilihat melalui tubuh? Ataukah halnya demikian ini: orang di antara kita yang paling baik mempersiapkan diri untuk memikirkan dalam-dalam dan sepenuh-penuhnya dan dengan sepersis mungkin setiap hal yang sedang diselidikinya, orang inilah yang akan sedekat-dekatnya mengenali setiap hal?” (Phaedo 65d-65e) “… Menurut argumen ini, aku beranggapan bahwa apa yang sekarang ini kita ingat, sesungguhnya adalah apa yang kita telah pelajari beberapa waktu sebelumnya. Tetapi tidaklah dimungkinkan jika jiwa kita tidak berada di suatu tempat sebelum dilahirkan dalam wujud manusia di dunia ini. Jadi, dengan sudut pandang ini juga, jiwa kelihatannya adalah sesuatu yang tidak binasa” (Phaedo 73a) “Tetapi ketika jiwa,
dari dan pada dirinya sendiri, menyelidiki, dia pergi ke sana, ke sesuatu yang murni dan selalu ada, dan dia tidak bisa mati dan tetap berada dalam kondisi yang sama. Dan karena jiwa berhubungan dengannya, dengan sesuatu yang murni ini, jiwa terus-menerus berada bersamanya, yakni ketika dia menjdai dirinya sendiri oleh dirinya sendiri, dan hal ini dimungkinkan untuk dirinya.” (Phaedo 79d) B. Tesis yang Harus Dibuktikan Pada analisis teks ini saya ingin menjawab pertanyaan mengenai apakah jiwa itu abadi (pembuktian melalui pengetahuan akan ide-ide yang abadi)? Dengan kata lain, jiwa itu abadi karena mampu memikirkan atau menalar ide-ide abadi. Pertanyaan selanjutnya bagaimana penjelasan akan argumen Sokrates bahwa jiwa mempunyai sifat yang abadi karena mampu memikirkan ide-ide yang abadi? C. Identifikasi Titik Awal Diskusi Awal dari dialog menganai ide-ide yang abadi adalah rangkaian dari argument pembuktian Sokrates bahwa jiwa itu mempunyai sifat yang tetap, tidak berubah, dan abadi. Dari tujuan tersebut mulai mengalirlah sebuh dialog penjelasan lebih lanjut. Mulai dari Sokrates yang kemudian melanjutkan dengan mengajukan argumen bahwa manusia sebiasa mungkin harus membebaskan diri dari keinginan tubuh. Karena tubuh membuat jiwa tidak bebas untuk bernalar. Jiwa bernalar paling indah ketika tidak satu pun dari hal-hal ragawi darinya menghalanginya, juga ketika dia berusaha dengan keras menemukan hakikat dari segala sesuatu. D. Kesimpulan yang Ingin Dicapai Kemudian memang pada akhirnya di kesimpulan dapat saya mampu menunjukkan bahwa jiwa itu mempunyai sifat yang abadi karena jiwa dapat memikirkan ide-ide atau bentuk-bentuk abadi. Logikanya demikian: karena jiwa mampu memikirkan ide-ide abadi, maka jiwapun mempunyai sifat yang abadi tersebut (79d). E. Argumentasi Langkah demi Langkah Sebelum kita melihat secara detail argumentasi langkah demi langkah yang terjadi dalam dialog untuk membuktikan bahwa jiwa itu abadi, melalui pengetahuan akan ide-ide yang abadi, mari kita melihat pemikiran Plato secara umum mengenai ajarannya tentang idea atau bentuk. Dalam filsafatnya Plato membagi realitas kedalam dua bentuk. Realitas pertama mencakup segala benda-benda jasmani yang sanggup ditangkap oleh indera manusia (kasat mata). Karena sifatnya yang menyangkut benda-benda jasmani, itu berarti masih terdapat perubahan di dalamnya. Sedangkan realitas kedua adalah ranah di balik dunia materi. Realitas ini disebut sebagai dunia idea, yang di dalamnya terdapat pola-pola yang tidak dapat rusak atau terkikis oleh waktu. Realitas tentang dunia idea menjadi inti ajaran Plato. Plato memandang bahwa realitas idea adalah realitas yang sesungguhnya Ide adalah sesuatu yang objektif. Realitas ide tidak diciptakan oleh pemikiran dan tidak tergantung olehnya pula. Realitas ide ini mempunyai sifat abadi, tetap, dan kekal. Sedangkan realitas dunia materi hanya bayang-bayang atau tiruan dari realitas idea. Realitas di dunia mempunyai sifat yang tidak tetap, selalu berubah, dan rapuh. Dialog Phaedo pun menjelaskan bahwa jika orang dapat masuk dalam kawasan ide ini (contoh Phaedo 65b-67b), ia akan mendapatkan pengetahuan yang universal dan hakiki, yang sempurna, murni dan tidak berubah dan kebijaksanaan yang tidak akan rentan oleh waktu atau perubahan (79a). Dengan kata lain Plato memandang bahwa akal budi merupakan sarana bagi seseorang untuk mampu menangkap pengetahuan mengenai segala sesuatu tentang ide (79a). Alur penjelasan tentang jiwa yang bernalar atau mencari hakikat dari segala sesuatu berlanjut dengan penjelasan bahwa sebelum manusia dilahirkan, ia telah memiliki pengetahuanya yang hakiki. Sebelum terpenjara dalam tubuh, jiwa berada pada suatu tempat dimana terdapat ide-ide yang abadi dan sempurna, yang menyinari segala realitas yang ada di dunia. Dan proses pembelajaran yang terjadi dalam kehidupannya adalah sebuah proses mengingat (reminiscentia). Hal ini berkaitan dengan argumen bahwa jiwa manusia sudah ada lebih awal juga, sebelum jiwa memakai rupa insani, dan mereka terpisah dari tubuh dan memiliki kebijaksanaan (76c). Oleh Plato Ide tentang kekekalan ini juga dikaitkan dengan manusia yang terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh adalah sesuatu yang kasat mata yang rapuh dan dapat berubah. Sedangkan jiwa adalah sesuatu yang tidak kasat mata. Jiwa selalu ingin berfilsafat dengan benar, dan mempraktikkan apa yang selalu menjadi kepeduliannya yang tetap, yakni mengalami kematian dengan mumi. Dengan demikian dapat dikatakan jiwa akan pergi ke suatu kawasan yang serupa dengan dirinya sendiri, ke kawasan yang tidak kasat mata, kawasan ilahi dan kearifan. Akhirnya, setelah kita melihat dan meruntut argumen langkah demi langkah, mulai dari menjadi jelas bahwa jiwalah yang mengenali ide-ide. Maka, kalau jiwa dapat mengenali ide-ide, tentunya jiwa pun mempunyai sifat-sifat yang sama dengan ide-ide (79d). 

BAB III 

TINJAUAN KRITIS TESIS atau BUKTI A. Kekuatan Argumentasi Menurut pandangan saya, jika dilihat dari sisi logika atau penalaran proses berpikir, argumentasi yang diajukan Plato melalui Sokrates cukup baik. Artinya, secara proses berpikir logika formal, penalarannya lurus. Hal tersebut bisa dijelaskan dengan menengok kembali alur berpikirnya sehingga sampai pada kesimpulan yang lurus pula. Namun untuk kebenarannya masih belum tentu, karena didalannya masih sangat kuat akan pengandaian-pengandaian. Jadi intinya secara logika formal alur berpikir sehingga sampai pada kesimpulan bahwa jiwa itu abadi cukuplah kuat. B. Kelemahan Argumentasi Satu kelemahan argumentasi yang paling mencolok dari teori Plato tentang ide-ide adalah terlalu banyaknya pengendaian-pengandaian yang ada di dalamnya. Sebagai contoh jika diuji dengan pertanyaan bagaimana Plato bisa mengetahui bahwa jiwa manusia sudah ada di suatu tempat sebelum dilahirkan menjadi manusia? Kemudian kritik terhadap logika yang dipakai Plato mengenai teroi mengingat. Karena jiwa bisa mengeingat ide-ide abadi maka ia pun mempunyai sifat abadi itu pula. Kritik lain adalah dengan mencoba melihat kontradiksi dari argumen Plato satu dengan yang lain. Bagaimana Plato dengan tegas menolak peran tubuh dalam keberadaan manusia sedangkan di sisi lain dalam mengenali ide-ide abadi, Plato tidak bisa mengingkari bahwa dengan begitu dia pun membutuhkan tubuh untuk mengenali ide-ide. Bagaimana jiwa bisa mengenali ide-ide abadi jika tidak dibantu oleh tubuh menangkap realitas yang ada di dunia, yang kemudian membantu ingatannya akan ide-ide abadi yang pernah dilihatnya sebelum masuk kedalam tubuh. C. Pengajuan Bukti yang Berbeda Saya ingin mengajukan bukti-bukti berbeda terhadap tiap argumen Plato. Pertama, mengenai argument Plato bahwa jiwa sudah ada sebelum ia dilahirkan. Bagaimana Plato membuktikan argument tersebut pun tidak bisa kita ketahui. Pembutikan lain jika mengenai bahwa tidak serta merta jiwa yang bisa mengingat ide-ide abadi, maka ia pun mempunyai sifat-sifat abadi. Argumen Plato tersebut menjadi terpatahkan jika kita melihat teori Aristoteles mengenai causa prima. Penjelasan lebih lanjut mengenai teori causa prima ini akan kita lihat pada pembahasan mengenai tinjauan pustaka lain di bawah. D. Tinjauan Pustaka lain yang Memperkuat Argumen Filsafat Aristoteles mengenai causa bisa menjadi acuan untuk memperkuat tinjauan kritis untuk melihat filsafat Plato mengenai ide-ide abadi. Aristoteles menganggap hakikat setiap benda tidak terdapat di luar , melainkan di dalam benda itu sendiri. Hakikat setiap benda bisa dikenali dan diartikan dengan menggunakan empat penyebab. Pertama, penyebab formal (Causa formalis) diartikan sebagai bentuk yang menyusun benda tersebut. Kedua, penyebab final (causa finalis) sebagai tujuan yang menjadi arah terbentuknya benda tersebut. Ketiga, penyebab efisien (causa efficiens) dipahami sebagai penggearak yang menjalankan benda tersebut. Keempat, penyebab materi (causa material) sebagai bahan pembentuk terciptanya benda tersebut. Jadi pengetahuan tidak berasal dari ide-ide, namun berasal dari abstraksi beradasarkan penyebab-penyebab tersebut. Di samping keempat penyebab tersebut, terdapat satu causa yang menjadi pusat, yakni causa prima. Penggerak yang tidak digerakkan. Penyebab inilah yang menjadi penggerak pertama dari segala realitas di seluruh alam. Semua realitas yang ada di alam muncul dari dan bertujuan akhir darinya. Meskipun semua realitas muncul dan bersumber padanya, hal tersebut tidak berarti serta-merta realitas tersebut mempunyai sifat yang sama dengannya, yaitu abadi, tetap dan murni. Hal tersebut jelas bertentangan dengan argumen Plato yang mengatakan bahwa karena mampu mengingat ide-ide, maka jiwapun mempunyai sifat yang sama dengan ide-ide tersebut. 

BAB IV 

PENEMUAN PENTING PLATO Pada bagian ini kita akan melihat penemuan penting Plato yang berkaitan dengan tema bahwa jiwa itu abadi karena mampu memikirkan ide-ide abadi. Hal pertama adalah bahwa suatu konsep mengenai mengenal ternyata sama dengan mengingat (reminiscentia). Bagi Plato pengenalan tidak lain dari pada pengingatan akan ide-ide yang telah dilihat pada waktu pre-eksistensi. Penemuan tersebut menjadi penting karena itu berarti sebenarnya setiap manusia mempunyai potensi yang sama untuk memiliki pengetahuan. Setiap manusia berpotensi untuk memiliki pengetahuan yang sempurna dan benar. Jika manusia sungguh memaksimalkan apa yang menjadi potensinya tidak ada lagi kelas-kelas sosial yang didasarkan oleh kompetensi. Penemuan penting lainnya adalah mengenai konsep reminiscientia yang jika ditarik lebih dalam mengandung unsur keabadian. Artinya mengingat kembali (reminiscientia) sama dengan abadi (immortal). Sebuah konsep yang sekiranya penting bagi proses pembelajaran. Penemuan baru yang mampu membawa manusia untuk semakin terpacu melakukan proses pembelajaran, semakin mendekati ide-ide. BAB V RELEVANSI dengan FILSAFAT KRISTIANI Pada bagian ini saya akan memaparkan sebuah tinjauan tentang relevansi antara tema yang dibahsa, yaitu tentang pengetahuan akan ide-ide abadi, dengan ajaran Kristiani. Pertanyaannya apakah ajaran Plato tentang ide-ide, seperti yang dibahas di atas juga terdapat dalam ajaran filsafat Kristiani? dan bagaimana bentuk hal itu diterapkan dalam terang filsafat Kristiani? Berbicara mengenai ajaran Plato tentang ide-ide, ada beberapa filsuf Kristiani yang juga menggunakannya sebagai tema ajaran filsafatnya. Pertama, Agustinus(343-430) seorang filsuf dan teolog Kristen terbesar dalam sejarah gereja. Dalam konteks ini kita akan melihat ajarannya yang sering disebut iluminasi. Ajaran Agustinus tentang iluminasi bertitik tolak dari hubungan budi manusia dengan Budi Ilahi. Bagi Agustinus pengetahuan yang murni, tetap dan kekal tidak berasal dari indrawi. Namun, Agustinus menolak ajaran Plato tentang keberadaan jiwa yang sudah ada sebelum manusia dilahirkan. Pengetahuan yang sejati berasal dari cahaya batin Allah yang menyinari manusia dari dalam. Ajaran Agustinus mengenai iluminasi menjelaskan bahwa hubungan budi manusia dan Budi Ilahi menjamin manusia mampu menuju pengetahuan yang benar. jadi dalam kristiani apa yang disebut Plato sebagai ide-ide langsung diterjemahkan sebagai Allah sendiri. Sebagai contoh kita bisa melihat secara langsung, bagaimana setiap akan melakuakan pertemuan-pertemuan seperti konsili, sinode, dan sabagainya. Para Bapa Gereja selalu berdoa agar Allah mencurahkan Roh Kudus-Nya untuk menerangi budi mereka, agar apa yang mereka perbincangkan sungguh-sungguh sesuai dengan pikiran dan kehendak Allah. Artinya praktik itu bisa kita terjemahkan sebagai permohonan kepada Allah supaya memancarkan Budi Ilahi-Nya sehingga mampu memperoleh pengetahuan yang benar. 

BAB V 

Kesimpulan Jiwa mempunyai sifat yang abadi. Penjelasannya karena jiwa mampu mengingat kembali (reminiscentia) dan memikirkan ide-ide abadi yang mempunyai sifat abadi, tetap, dan tidak berubah. Jika dilihat secara logika argument tersebut mempunyai kekuatan. Namun untuk kebenaran perlu dipertanyakan kembali, karena memang masih banyak pengandaian yang terdapat di dalamnya. Misalnya diandaikan bahwa ada suatu tempat di man ide-ide abadi berada. Bagimana kita tahu keberadaan tempat itu? Sungguh adakah temapat seperti itu? Karena kalau tidak ada maka runtuhlah semua argumen Plato. 

Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn Kino Nara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar