Rabu, 23 Mei 2012

BIOGRAFI SUHRAWARDI

Oleh: Pedi Ahmad

ABU AL-FUTUH YAHYA BIN HABASY BIN ‘AMIRAK As-Suhrawardi Al-Kurdi, yang biasa dikenal dengan sebutan Suhrawardi lahir pada tahun 1153 M./549 H., di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran. Ia banyak memiliki gelar: Syaikh al-’Israq, Al-Hakim, Asy-syahid  dan Al-Maqtul, akan tetapi Suhrawardi lebih terkenal dengan julukan al-Maqtul karena ia menemui kematian tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/1191 M dan karena itulah ia terkadang disebut guru yang terbunuh.
Meskipun situasi dan kondisi di sekitar kematian Suhrawardi masih menjadi objek spekulasi, namun informasi tentang kehidupannya begitu luas. Filosof berpengaruh ini hidup hanya sekitar tigapuluh delapan tahun. Pada 579 H/1183 M ia bertolak ke Aleppo, tempat ia menyelesaikan karya utamanya Hikmah al-Israq pada 582 H/1186M. Penulis biografi utamanya, Syams Al-Din Muhammad Syahrazuri, menyatakan dalam Nuzhah Al-Arwah-nya bahwa Suhrawardi berumur tigapuluh tahun saat menuntaskan karya filsafat utamanya yang lain, Al-Masyari wa al-Mutarahat (yang diselesaikan pada 579 H/1183M ).
Pertama-tama, Suhrawardi belajar filsafat dan teologi kepada Majd Al-Din Al-Jilli di Maraghah, kemudian mengembara ke Ishafan untuk belajar kepada Fakhr Al-Din Al-Mardini (w. 594H/1198 M) yang konon telah meramalkan kematian muridnya. Juga diketahui bahwa Zahir Al-Farsi, seorang logikawan, memperkenalkan Suhrawardi dengan Al-Basha’ir karya logikawan termashur, Umar Ibn Sahlan Al-Shawi. Fakta ini cukup penting karena karya yang disebut terakhir ini termasuk karya pertama yang menyimpang dari pembagian baku sembilan bagian logika—yaitu, sembilan buku dari Organon—dan mengakui dua bagian: logika formal dan logika material. Suhrawardi kemudian menggunakan sistem yang yang lebih sederhana ini dalam logika tiga-bagiannya, yang terdiri dari semantik, logika formal dan logika material.
Suhrawardi menyusun kebanyakan risalah utamanya selama sepuluh tahun, waktu yang tidak cukup panjang baginya untuk mengembangkan dua gaya filsafatnya yang khas—gaya Peripatetik yang kemudian disusun gaya iluminasionis—seperti yang ditunjukan oleh
beberapa sarjana. Sebenarnya dalam setiap karya utamanya Suhrawardi membuat rujukan silang yang jelas pada risalah-risalahnya yang lain. Ini membuktikan bahwa tulisan-tulisannya disusun kurang lebih bersamaan, atau bahwa karyanya diperbaiki ketika diajarkan dengan mempertimbangkan karya-karya yang lain.
Segera setelah kedatangan di Aleppo, Suhrawardi mulai mengabdi pada pangeran Al-Malik al-Zhahir Ghazi, gubernur Aleppo—yang juga dikenal dengan Malik Zhahir Syah, putra sultan Ayyubiyyah Shalah Al-Din. Sultan ini dikenal dengan pahlawan besar perang salib. Pada saat itu Suhrawardi menjadi penasehat pangeran, dan di sana dia sering berdiskusi atau sekedar memaparkan pemahaman filosofisnya. Karena ratting Suhrawardi yang meroket, sehingga menimbulkan kecemburuan terhadap orang-orang sekitar istana: para Fuqaha, Wajir dan Hakim Aleppo. Mereka melayangkan surat kepada Shalahhudin al-Ayyubi, dengan alasan Suhrawardi mengajarkan pemahaman-pemahaman sesat, zindiq (anti agama), karena berlawanan dengan pemikiran para fuqaha. Sultan memerintahkan pangeran agar penasehatnya dibunuh.
Namun, tuduhan-tuduhan kontroversial itu ditepis oleh gubernur Aleppo, sehingga hukuman mati berubah menjadi hukuman penjara. Hukuman mati ataupun penjara, jelas itu suatu kesalahan telak terhadap ketakbersalahan Suhrawardi.
Walaupun kehidupan Suhrawardi kontroversial, satu hal yang pasti ia mempunyai pengaruh besar pada pemikiran filosofis berikutnya—terutama Mulla Sadra—suatu fakta yang disepakati oleh semua penulis biografi.[] Dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar