STUDY LITERATUR TRADISIONAL
1.
Pendahuluan
Al-suhrawardi
al-Maqtul dipandang termasuk salah seorang dari generasi pertama para sufi
filosof. Nama lengkapnya ialah Abu al-futuuh Yahya Ibn Habsy Ibn Amrak,
bergelar Syihabuddin, dan di kenal juga sebagai sang bijak (al-Hakim). Dia
termasuk golongan para sufi abad keenam hijriah; dia dilahirkan di Suhrawad
sekitar tahun 550 H, dan di bunuh di Halb (Aleppo), atas perintah Shalahuddin
al-Ayyubi, tahun 578 H. Karena itulah dia digelari al-Maqtul (yang dibunuh),
sebagai pembedaan dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu al-Najid al-Suhrawardi
(meniggal tahun 563 H) dan Abu Hafsh Syihabuddin al-Suhrawardi al-baghdadi
(meniggal tahun 632 H), penyusun kitab Awarif al-ma’arif.
Ia belajar kepada seorang fiqih dan
teolog terkenal, Majduddin al-Jilli, guru Fakhruddin al-Razi. Di Isfahan dia
belajar logika kepada Ibn Sahlan al-Sawi, penyusun kitab al-Basha’ir
al-Nashiriyyah. Selain itu, dia juga bergabung dengan para sufi serta hidup
secara aksetis. Tetapi ada sebagian orang yang dengki terhadapnya dan
memperingatkan bahaya akan tersesatnya aqidah al-Zhahir seandainya terus
bersahabat dengan al-Suhrawardi. Shalahuddin al-Ayyubi, yang terpengaruh
membaca surat ini, kemudian memerintahkan puteranya untuk segera
membunuh al-Suhrawardi. Maka setelah meminta pendapat para fuqaha Halb, yang
memegang menjatuhkan fatwa bahwa al-Suhrawardi harus si bunuh, al-Zhahir pun
memutuskan agar al-Suhrawardi dihukum gantung. Penggantungan ini berlangsung
pada tahun 587 H di Halb, ketika al-Suhrawardi baru berusia tigapuluh delapan
tahun. Menurut beberapa sumber, beliau dibunuh akibat pengaruh ajarannya
yang bertentangan dengan pandangan beberapa ulama yang dekat dengan penguasa,
terutama berkaitan dengan konsep Isyraqy atau pemaduan antara filsafat,
tasawuf dan beberapa pandangan agama, atau disebut dengan sinkritisme antara
agama Zoroaster, Hindu,Yunani dan aliran-aliran lainnya yang bertentangan
dengan paham istana (Akidah Islam). Disamping itu, beliau juga belajar beberapa
cabang ilmu-ilmu Islam secara luas di antaranya, ilmu fiqh, tafsir, kalam,
mantiq, tasawuf, filsafat India, filsafat Yunani dan Filsafat Islam. Setelah
dewasa ia mulai mengembara ke beberapa negeri di antaranya: Aleppo, Damaskus,
Anatholia dan sebagainya dengan maksud memperluas ilmu dan wawasan
keagamaannya. Dia melakukan dialog dan berdiskusi dalam masa pengembaraannya;
banyak melakukan perenungan sufi, mujahadah dan riyadha disamping
melakukan ibadah secara intensif demi ketenangan jiwanya.
2. Sekilas Tentang Kitab
Beberapa sarjana barat telah
mengklaim bahwa tradisi filsafat islam telah mati setelah serangan al-ghazali
kepada para filusuf peripatetik, maka perkembangan tradisi filsafat islam hanya
berlangsung selama 3 abad sebelum Al-Ghazali (108-1111)- atau tepatnya mulai
al-Farabi (870-950) sampai ibn rusyd (1126-1198), sedangkan sesudah itu, mongol
menancapkan invasinya, dunia islam hanya menghasilakan komentator-komentator
tanpa ide-ide kreatif dan orisinal. Bila kesimpulan ini diarahkan ke dunia
islam bagian barat yang pada umumnya bermayoritaskan sunni, mungkin dapat di
benarkan sebab nama besar seperti Al-Ghazali ternyata terlalu kuat untuk di
hadapkan orang-orang seperti ibnu rusyd. Tetapi tidak halnya ke dunia islam
bagian timur. Sebab, di dunia islam yang mayoritas penduduknya syi’ah ini telah
tumbuh sebuah imperium baru filsafat islam yang di bangun oleh teosof-teosof
persia semisal syihab ad-din as-suhrawardi (1153-1191), nasir ad-din
at-tusi(w.1274), ibn turkah (w.1432), baha ad-din al-amili (w.1622), mir damad
(w.1631)dan mulla sadra (1571-1640).
Karya ini muncul pada akhir fase
pertama perkembangan kebudayaan islam, ketika filsafat islam mencapat tahap
kematangannya di tangan ibn rusyd; tasawuf ditangan ibn arabi;ilmu kalam di
tangan al-Iji dan usul fikih di tangan asy-syatibi. Jadi suhrawardi muncul
setelah matangnya pemilihan metode antara penalaran “diskursif” dan intuisi
“zawqi”. Metode pertama digunakan oleh para mutakallimun dan filsuf, sedangkan
yang kedua dimiliki oleh para sufi. Kedatangan as-suhrawardi mengobati
kejenuhan para filsuf muslim terhadap metode peripatetik, melalui kosep
filsafatnya yang menggabungkan hikmah al-bahsiyyah dan hikmah az-zawqiyyah,
suhrawardi telah melahirkan himah isyraqiyyah, sebuah konsep baru yang
mengobarkan kegairahan baru dengan memadukan visi sufistik (al-ittihad_ dan
penalaran filosofis (al-ittisal). Buku himah isyraq ini merupakan kitab rujukan
paling klasik tentang filsafat hikmah dan sumber pertama yang membahas
epistemologi huduri. Hikmah isyraqi mengkombinasikan filsafat dengan tradisi
“irfani” dan menghadirkan kritik tajam terhadap filsafat peripatetik.
Daftar
isi kitab hikmah isyraqi
Bagian
pertama : prinsip-prinsip berfikir (meliputi
tiga subtma)
Subtma satu :
obyek-obyek pengetahuan dan definisi : tujuh aksioma
Subtema dua :
argumentasi dan prinsip-prinsip mendasar
Subtema
tiga : penolakan sofistik dan sebagian pernyataan yang beredar dikalangan
mazhab iluminasionis dan sebagian aliran peripatetik
Bagian
kedua : cahaya-cahaya ilahi, cahaya
mahacahaya, prinsip-prinsip eksistensi dan hierarkinya
Subtema
satu : hierarki esensinya, cahaya mahacahaya dan yang pertama kali beremanasi
darinya
Subtema dua : hirarki eksistensi
Subtema
tiga : bentuk tindakan cahaya mahaahaya
dan cahaya-cahaya pemaksa, disertai deskripsi pelengkap tentang gerakan-gerakan
langit.
Subtema empat : pembagian barzakh,
kualitas, komposisi dan sebagian fakkultasnya
Seubtema lima : kebangkitan
eskatologi (al-maad), profetologi dan mimpi-mimpi.
Al-Suhrawardi al-Maqtul mengemukakan
bahwa hikmah isyraqnya didasarkan pada rasa, sebagaimana katanya: “apa
yang ku kemukakakan (dalam hikmah al-Isyraq) ini tidak ku peroleh lewat
pemikiran, tapi ku peroleh lewat sumber lain. Dan aku pun segera mencari argumentasinya.Adapun
mengenai wujud, al-Suhrawardi telah menyusun sebuah teori, yang dia kemukakan secara
simbolis, berdasarkan teori emanasi. Sebab menurutnya, terdapat beberapa
alam yang melimpah dari Allah; atau cahaya dari segala cahaya, yang mirip
matahari, yang sama sekali tidak kehilangan cahayanya sekalipun ia bersinar
terus-menerus.
Al-Isyraq berarti bersinar atau
memancarkan cahaya dan nampaknya searti dengan al-kasyf. Akan tetapi bila
dilihat pada inti ajaran ini, maka al-isyraq lebih tepat diartikan penyinaran
atau illuminasi. Pemikiran ini merupkan gabungan dari tasawuf dan
filsafat dari berbagai aliran yang ia wariskan melalui karya tulisnya Hikmatul
Isyraq.Melalui kalimat-kalimat simbolistis, Suhrawardi mengatakan, bahwa
Allah Yang Maha Esa adalah Nur al-Anwar yang merupakan sumber asal segala
yang ada dan seluruh kejadian.Hal
ini merupakan tipe tasawuf falsafi yang paling orisinil di antara konsep-konsep
tasawuf yang sealiran. Karena itu, penulis perlu mengemukakan pengertian Isyraqy
baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah sebagai berikut. Kata “Isyraqy”
berasal dari bahasa Arab yaitu bermakna “penyinaran” sedang masyirik
berarti “timur”. Maka kedua kata ini secara etimologi mengandung
maksud “terbitnya matahari dengan sinar terang benderang”. Sedangkan
dari istilah “penyinaran” dalam term Isyraqy itu, berhubungan
dengan simbol dari matahari yang selalu terbit di timur dan memberikan sinarnya
keseluruh alam Seperti juga disebutkan dalam pandangan Polotinus tampaklah
olehku bahwa sang pencipta (al-Asiya) yang diciptakan (al-Ma'suq)
dan cinta (isyq) adalah satu dan manusia merupakan suatu di alam
kesatuan" (Al-Taftazani, 1997: 53). Tanah yang terang benderang yang
tertimpah oleh sinar matahari itu adalah melambangkan
makrifah"(Al-Qusyriyah 2000: 390) yang diterima dari “Nur al-Anwar ” .
Di Barat, dimana matahari tenggelam dan selalu gelap adalah alam kebendaan,
kejahilan dan penyimpangan. Sebaliknya di Timur, merupakan tempat terbitnya
matahari yang dianggap sebagai sumber dari segala ilmu kebenaran yang menerangi
akal budi manusia. Ia membebaskan manusia dari kegelapan hingga mencapai
tingkat ilmu yang benar dan lebih tinggi dan terang. Dari pengertian di atas,
dapat dipahami bahwa al-Suhrawardi menggunakan simbol sebagai suatu ungkapan
yang bersifat analogis yang mengajak manusia untuk merenung dan berpikir, bahwa
eksistensi Tuhan di alam jagad ini, merupakan hal yang mutlak yang bisa
dirasakan dengan konsep kesucian jiwa dan kesucian batin.
Melalui kalimat simbolis, beliau mengatakan bahwa Allah Yang Maha
Esa adalah “Nur al-Anwar” yang merupakan sumber segala yang ada dan
seluruh kejadian. Dari “Nur al-Anwar” inilah, Konsep Isyraqy. Apa
yang disebutkan di atas merupakan ilmu “al-Anwar” (ilmu cahaya-cahaya)
maka cahaya itu dimaksudkan sebagai simbol pencipta atas segala sesuatu, yaitu
Allah swt. Berdasarkan analisa di atas maka martabat keberadaan (wujudiyah)
seluruh makhluk adalah bergantung pada kedekatannya terhadap cahaya tertingg
(Musa, 1988: 36). Dengan ini al-Suhrawardi mengemukakan tiga kualitas yang
memancar dari “Nur al-Hakim”; pertama, Barskh al-Aqli atau alam
akal budi, kedua, Barzakh al-Nafs atau alam rohania atau alam jiwa,
sedangkan yang ketiga, alam Barzakh al-Ajsam yaitu alam ragawi atau
bentuk.
Alam akal budi mengandung potensi (al-Anwar) dan daya-daya antara
lain akal aktif dan roh suci. Hal ini senada dengan pemikiran Sokrates sebagai
tokoh filosof Yunani yang juga dikagumi al-Suhrawardi. Menurutnya “bahwa
tujuan tertinggi dalam kehidupan manusia adalah membuat jiwanya merasa tenang
dan bahagia dalam hal ini berdasarkan akal budi”. Manusia makhluk yang
mampu memberikan penilaian terhadap dirinya, yang dianggap baik dan buruk.
Apabila manusia belum bisa memberikan definisi kebaikan dan keburukan dalam
dirinya, berarti dia belum mengenal dirinya dan Tuhan-Nya. Alam rohani meliputi
jiwa-jiwa yang suci, bintang-bintang dilangit serta yang menguasai manusia,
dalam hal ini “Nur al-Anwar” merupakan substansi nilai ketuhanan yang
melekat pada setiap roh yang suci, seperti malaikat, para Nabi dan auliah yang
dianggap sudah mampu berhubungan secara langsung dengan penciptanya (Allah
swt). Alam ragawi meliputi benda elementer yang berada di bawah pelanet bulan
bintang, benda-benda eter dan form atau substansi benda-benda langit. Disamping
itu, beliau juga mengungkapkan sebagai alam idea yang posisinya berada di
antara akal murni atau (rasio). Ini senada dengan konsep pemikiran Plato dengan
alam ideanya. “Bahwa Idea tidak diciptakan oleh pemikiran kita atau
tergantung pada pemikiran melainkan sebaliknya bahwa pemikiran bergantung pada
idea karena idea berdiri sendiri”.
Dengan konsep di atas, al-Suhrawardi memberikan kesimpulan bahwa
dengan idea inilah memancar wujud-wujud materi yang beraneka ragam sebagai
terlihat pada alam smesta ini. Alam ini merupakan bayang-bayang dari pancaran
dari seluru Nur al-Anwar, sehingga menurut paham Isyraqyyahnya bahwa
alam ini terdiri dari dua aspek yitu aspek alam makna yang terdiri alam
uluhiyat, dan aspek akal budi. Menurut Sayed Husein Nasr, bahwa apa
yang sebenarnya disamapaikan al-Suhrawardi melalui lambang-lambang tersebut
adalah Qairawan yang merupakan lambang dari dunia Barat yang
materialistis, diliputi oleh kegelapan rohani serta jauh dari kebenaran yang
diartikan sebagai sumber baik, yang dimaksudkan bahwa negeri Timur, jauh lebih
baik dari dunia Barat sekaligus melukiskan nafs (kebendaan dan materi)
yang menanggalkan pakaian sebagai gambaran bahwa manusia yang ingin kembali ke
Tuhan-Nya, harus melepaskan diri dari dunia materi dan hawa nafsu dengan segala
bentuknya
Apabila seorang sufi telah memasuki alam ketuhanan maka yang
dialami atau dirasakan adalah kenikmatan dan ketenangan batin dengan melalui
tingkatan-tingkatan syahadat sebagai wujud pengakuan terhadap Allah swt. Adapun
tingkatan syahadat yang dimaksudkan al-Suhrawardi adalah; Pertama,
La ilaha illa-Allah (Tiada Tuhan Melainkan Allah). Maksudnya, yang
pertama diikrarkan adalah sifat dasar pengakuan kita terhadap Allah swt. (Nur
al-Anwar), dengan demikian hanya orang berimanlah yang terbuka kemungkinan
bersatu dengan Tuhan-Nya; kedua, La hua illa Hua, yang
berarti hanya Allah (Anwar) yang berhak disebut Dia. Merupakan
kesungguhan sebagai penyebab segala sesuatu atau penyebab timbulnya dari segala
cahaya-cahaya yang ada (pancaran Nura al-Anwar); ketiga,
La anta illa Anta, yang berarti hanya Allah (Nur al-Anwar) yang
pantas disebut Engkau. Term Engkau (anta). dalam kalimat ini menunjukan
bahwa, pada saat yang demikian sudah terjadi syuhud (penyatuan) dalam
posisi saling berhadapan, sehingga terbuka dialog antara manusia dengan Tuhan; keempat,
La Ana illa Ana. Maksudnya bahwa hanya Allah disebut Aku, hal ini berarti
bahwa pada tingkatan ini yang memiliki personaliti atau syakhsyiyah (kemutlakan)
hanya Dia Allah, sedangkan akunya manusia sudah lebur dari kesdarannya karena
sudah fana’ dan pada saat itu sudah tidak ada jarak antara manusia
dengan Tuhan, dan percakapan yang terjadi adalah menolong (yang berbicara pada
hakikatnya adalah Tuhan melalui lidah insaniyah); kelima, Kullu
syaihalikun illa wajhahu, selain Allah sudah lebur dan yang tinggal abadi
hanya Dia, karena manusia sudah fana’ fi’ Allah, maka dia memasuki alam Ilahiyat
sehingga kekal bersama Dia. Pada pase inilah sehingga terjadi kesatuan
wujud, karena segala sesuatu telah fana’. Seperti halnya Abu Yasid
al-Bustami dalam konsep kefanaannya. Beliau mengungkapkan bahwa sirnanya segala
sesuatu selain Allah dari pandangannya, dimana seorang sufi tidak lagi
menyaksikan kecuali hakekat yang satu yaitu Allah swt., bahkan dia tidak lagi
melihat dirinya karena terlebur dalam Dia, dan keadaan seperti inilah terjadi
penyatuan dengan yang Maha Benar. Penyatuan ini tersurat dalam ucapan Abu Yasid
al-Bustami : “Aku pun keluar dari yang Maha Benar dan menuju yang Maha Benar,
aku pun berseru, dan Engkau yang aku dari yang Maha Benar (ibarat cermin ketika
hamba melihat dirinya)”.Berdasarkan pandangan di atas, penulis menilai bahwa
konsep tentang Tuhan al-Suhrawardi dan Abu Yazid al-Bustami, memiliki kesamaan
sebagaimana terlihat dalam ungkapan-ungkapannya, meskipun al-Suhrawardi
menggunakan bahasa-bahasa simbol yang memang memerlukan analisis secara
rasional seperti diungkapkan oleh Sayyed Husein Nasr di atas. Karena itu,
menurut paham ini bahwa hubungan manusia dengan Tuhan merupakan arus
bolak-balik. Maksudnya, ada hubungan yang bersifat dari atas ke bawah dan dari
bawah ke atas, dan kemudian terjadilah ittihad. Berarti segala sesuatu
telah kembali kepada asalnya yaitu Nur al-Anwar yang tiada suara, bebas
dari dimensi ruang dan waktu tidak bergerak tetapi menggerakkan dan tidak
memiliki bentuk.
Suhrawardi dalam kefilosofannya
memakai metode tasbih (penyucian) dan tajsim (penumbuhan) yang merupakan ciri
khas Filsafat Islam. Ada lagi yang berkata bahwa Epiostimologi Ilmuminasi ini
adalah epistimologinya orang Syi’ah. Menurut hemat penulis tidak seperti itu
Sebab, para arif bijak seperti Rabi’ah Adawiyyah, Al-Ghazali, Abu Sulaiman
Ad-Darani, Dzunun Al-Misri, Ibnu Arabi dan para arif bijak lainnya yang tergabung
dalam Suni pun memakai metode ilmuminasi. “Dari hatiku, dari Tuhan berkata”
demikian Ibnu Arabi suka berkata. Secara “fakta” epistimologi iluminasi telah
dipakai oleh para sufi baik Suni maupun Syi’ah. Cuman, Suhrawardi yang
bermadzhab Syi’ah, sanggup merumuskannya sampai tataran logika yang sebelumnya
dianggap kolot dan mistik semata. Suhrawardi membangun pijakkan
pengalaman-pengalaman kasfu (penyingkapan)
para arif bijak secara logik, dan tentu saja secara langsung mengkritik logika Aristoteles. Oleh karena
itu, tak berlebihan kita berkata bahwa epistimologi iluminasi adalah evolusi
natural dari kultur filsafat dan tasawuf yang digabungkan.
Dalam metode epistomologi Islam,
terutama yang diajrakan oleh Suhrawardi dan Mulla Shadra, pengetahuan lmu huduri bisa diraih dengan tiga
metoda: 1) pembuka rahasia (wahyu).
2) demonstrasi atu obserpasi dan intelektual (al-burahan wa at-ta’aqqul). Dan 3) penyingkapan (al-mukasafah, al-musyahadah). Perlu
diingat, ketiga cara ini, mesti didekati dengan bahtsi (diskursif), dimana akal mempunyai peranan penting
dalam pendekatan dzauqi (intuitif).
Mendekati sumber cahaya tidak lagi menjadi aktivitas spiritual semata, tetapi
juga tindakan filosofis. Tak ada lagi keberpisahan antara rasio dan hati
sebagai batu pijak untuk menaki tangga kebenaran.
Hikmah al-isyraq memperkenalkan kita
pada satu hal; untuk memperoleh kebenaran yang beremanasi dari pencahayaan-Nya,
kita harus menjadi “cahaya” bagi diri kita sendiri. Caranya, kita mesti
mengenal bahwa secara esensial kita diciptakan sebagai makhluk yang dianugerahi
akal dan hati, rasionalaitas dan spiritualitas, untuk mencapai kodrat
kemanusiaan dan keilahian dalam diri kita. Bahwa “diri” kita adalah cahaya,
atau cerminan dari cahaya-nya, akhirnya tidak perlu diragukan lagi. Dengan
“diri yang bercahaya” ini, barulah kita dapat memeluk kesejatian insani yang
sesungguhnya, menjadi figur pencerah bagi dunia, dan memancarkan pesona yang
tak habis-habisnya memberikedamaian di buka bumi.
Kita melihat, epistimologi Islam
mempunyai kemegahan yang oleh banyak pemikir suka dianggap sesuatu yang kolot
dan salah karena sangat subjektif, epistimologi Islam mempunyai metoda mukasafah atau musyahaddah. Satu metoda yang dianggap mistik, tak rasional,
pengalaman mistik, sebagaimana pengalaman manusia lainnya (baik fisik ataupun
mental), memiliki tidak hanya unsur subjektif, tetapi juga objektif. Pengalaman
mistik (terutama pengalaman agama) merupakan pengalaman riil manusia,
sebagaimana pengalaman indrawi, metal maupun rasional, dan bahkan setiap
pengalaman manusia, pasti memiliki aspek subjektif dan objektifnya,” demikian
tulis Dr. Mulyadi Kartanegara di bab Realitas
Pengalaman Mistik dalam bukunya Meyingkap
Tirai Kejahilan.
Karya-karyanya yang ditinggalkan sekitar lima puluh buah buku di antaranya;
al-Talwihat, al-Muqawamat, al-Mutarahat, al-Hikmatu al-Isyraq, al-Hayat
al-Nur, al-Barakat al-Ilahiyat wa al-Ni’mat al-Samawiyah, al-Gurbat
al-Gharbiyah, al-Warif al-Ma’rif al-Waridat al-Ilahiyah, al-Kalimat al-Zauqiyah
wan Nuktat al-Syaqiyah, Hikmatul Isyraq.by : http://bayualhafs44.blogspot.com/2012/05/al-suhrawardi-al-maqtul-dan-hikmah-al.html
Beliu syiah?
BalasHapus