BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dzun
Nun al-Misri adalah seorang tokoh sufi yang telah banyak memberikan
sumbangsih berharga bagi perjalanan tasauf di dunia Islam, Sesungguhnya
faham sufi (sufisme) itu berkembang dari waktu ke waktu mengikuti
keadaan jaman. Sejak jaman Rasulullah saw hingga sekarang, banyak
diwarnai dengan keragaman. Adapun keragaman tersebut muncul dalam
beberapa tahapan perkembangan.
Sebagian
ulama berpendapat, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun di Mekkah -periode
Makkiyah sudah menekankan betapa pentingnya spiritual, dalam kaitannya
tentang orientasi kenabian dan tentang wahyu. Dikisahkan pengalaman
spiritual kenabian yang dilalui Rasulullah saw (dikenal dengan Isra`
Mi`raj),
Sebagian
ulama filosof mengatakan, bahwa pengalaman isra` mi`raj Nabi lebih
kepada pengalaman spiritual. Para yang mendapat cerita tentang isra`
mi`raj langsung menerima dan mereka tidak bertanya mengenai
pengalaman-pengalaman tersebut. Ada sejumlah alasan mengapa demikian,
karena mereka dilatih untuk suatu tujuan moral atas dasar keagamaan.
Lagi pula aktifitas mereka telah membuat mereka cenderung untuk tidak
bertanya-tanya tentang rahasia metafisik itu. Kedua, mereka menganggap
bahwa pengalaman-pengalaman spiritual Nabi saw tersebut merupakan ciri
khas seorang rasul atau utusan Tuhan. Sedangkan kewajiban mereka hanya
mengimani dan melaksanakan apa yang diyakininya itu.
Dalam
masa ini, Rasulullah saw menanamkan kepada umatnya -walaupun pada
tingkatan yang berbeda- suatu keyakinan tentang ketuhanan, keesaanNya,
kemahakuasaanNya, serta perasaan mendalam pada pertanggungjawaban
dihadapan pengadilan Tuhan menyangkut perilaku selama di dunia.
Ajaran
Rasulullah ini mendapat sambutan yang mendalam oleh para sahabat,
terutama yang sangat dikenal adalah Abu Dzar Al Ghiffari. Dimana
sepeninggal Rasulullah, Abu Dzar merupakan tokoh penting yang dikenal
keshalihannya dimata penduduk Madinah. Keshalihan Abu Dzar inilah yang
kemudian menjadi pondasi bagi perkembangan zuhud (sufi) dua abad pertama
Hijriyah.
Pada
perkembangan berikutnya, keshalihan beragama secara spiritual ini
muncul dalam bentuk kehidupan zuhud. Kemunculan kehidupan zuhud
dipengaruhi oleh kondisi umat Islam disaat itu yang tenggelam dalam
menikmati kemewahan duniawi. Kemewahan duniawi itu dipengaruhi oleh
keberhasilan pemerintahan Islam dalam mengembangkan politik dan militer
hingga ke seluruh jazirah Arabia.[1]
Menurut
sebagian ulama, kehidupan zuhud semata-mata merupakan reaksi terhadap
kehidupan sekuler dan sikap penguasa Dinasti Umayyah yang dianggap
kurang religius. Artinya, Dinasti Umayyah telah meninggalkan keshalehan
dan kesederhanaan hidup sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh
Rasulullah saw dan para sahabat empat.[2]
Dua
abad sesudah hijriyah, kemudian bermunculan tokoh-tokoh (ulama) zuhud
mengembangkan konsep spiritual (batiniah) dalam beribadah disamping
konsep syariat. Lalu muncullah istilah sufisme (gerakan sufi) sebagai
protes terhadap kehidupan umat Islam yang dianggap kurang religius
karena tenggelam dalam kemewahan duniawi. Diantara dari para ulama zuhud
itu, salah satu yang sangat terkenal adalah Hasan al-Basri. Pengaruh
konsep ajarannya demikian kuat selama berabad-abad.
Setelah
itu, tradisi hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu. Pada masa itu
konsep ulama zuhud yang sangat populer adalah pemahaman tentang tawakkal
(berserah diri kepada Tuhan). Kemudian berubah menjadi dokrin-dokrin
yang sangat mencolok. Mereka menempuh jalan sufi dengan menyerahkan diri
secara totalitas kepada Allah.
Dari
sini kemudian muncul ulama-ulama sufi besar seperti Malik bin Dinar,
Ibrahim bin Adham, Rabi`ah al Adhawiyah dan masih banyak lagi.
Kencenderungan pengaruh ajaran sufi pada saat itu misalnya dapat
dijumpai dalam cerita tentang bagaimana Malik bin Dinar mencari nafkah
(rejeki).
Malik
bin Dinar memilih hanya memiliki sebidang tanah. Dimana, sebidang tanah
itu dia mengusahakan kehidupan tanpa menggantungkan dirinya kepada
orang lain. Sementara Wasi` lebih menyukai menjadi orang yang jika makan
tidak peduli darimana dia akan memperoleh makanan lagi nanti.
Ciri
khas gerakan pada masa itu hanyalah pada zuhud dan rajin beribadah yang
bertujuan untuk membersihkan jiwa secara lahir bathin. Belum ada
teori-teori khusus yang menonjol.Baru pada abad ketiga hijriyah, muncul
ulama-ulama besar dalam tradisi sufi, diantaranya ialah Al Muhasibi,
Dzun Nun Al Misri, Abu Yazid al Bistami, Junaid Al Baghdadi dan Abu
Manshur al Halajj.
Ulama-ulama
sufi tersebut menggunakan kebiasaan (tradisi) berpikir yang berkembang
pada masa itu. Dzun Nun Al Misri memiliki konsep sufi yang dikenal "al ma`rifah" (pengetahuan). Abu Yazid al Bistami merumuskan konsep yang disebutnya
"Al Ittihad (penyatuan hamba dengan Tuhan). Adapun Abu Manshur al
Hallaj yang dikenal dengan Al Hallaj merumuskan konsep yang disebut "Al
Hulul" "(Tuhan mengambil tempat dalam diri seseorang).
Sesungguhnya
konsep-konsep tersebut semula tidak dikenal dalam islam. Konsep
tersebut hanyalah pengaruh dari beberapa tradisi pemikiran yang ada.
Namun dengan konsep tersebut, para sufi meyakini bisa memperoleh
pengetahuan tidak dengan alat indrawi atau akal sebagaimana yang
ditempuh oleh para filsuf dan teolog, melainkan dengan hati dan
perasaan.
BAB II
PEMBAHASAN
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN DZUN AL MISRI TENTANG MA’RIFAT
A. Biografi Dzun Al-Misri
Dzun-Nun
Al-Mishri nama lengkapnya adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia
dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan
wafat pada tahun 246 H/856 M dan makam kan dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin AL Harun.[3]
Ia adalah seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika
dan dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara
konsepsional. Nama Dzun-Nun mempunyai makna tersendiri, yaitu arti dari
namanya adalah ”seseorang yang mempunyai huruf Nun dari mesir”. Huruf
Nun ini mempunyai makna tersendiri pula bahwa huruf Nun adalah sebuah
simbol yang mempunyai makna spiritual power. Huruf Nun dimaknai sebagai
relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf Nun ini mempunyai sebuah
titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol tersebut dimaknai
sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan sebagai asal,
awal dan titik sentral dari kehidupan.[4]
Kaum
sufi juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam
kehidupannya. Begitu pula dengan Dzun-Nun Al-Mishri, dia mengetahui dan
sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama dari
dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta
mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada
Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan
berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada
huruf Nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT.
Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir.
Sebagaimana firman Allah SWT :
“huwa al-awwalu waal-aakhiru waalzhzhaahiru waalbaathinu wahuwa bikulli syay-in 'aliimun”
Artinya
: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).
Jadi
bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya
dengan huruf Nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari
kehidupan, dan titik sentral tersebut adalah sesuatu yang yang awal dan
yang akhir.
B. Perjalanan menuju Mesir
Sejak
usia anak-anak beliau sudah dikenal sebagai ahli ilmu, karena
kegigihannya dan ketekunan dalam memahami beberapa ilmu pengetahuan
agama. Usahanya untuk memperdalam ilmu pengetahuan tidak ditempuh
disuatu tempat saja, tapi ditempat yang berbeda-beda. Ketika beliau
berada disuatu negeri orang, beliau pernah ditangkap dan di penjara oleh
penguasa Baghdad selama 40 hari. Dan setelah bebas Dzun Nun pulang
kenegeri asalnya dan mengamalkan ilmu yang ia dapat.
Dalam perjalanan hidupnya Al-Misri selalu berpindah dari satu tempat
ketempat yang lain, Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir,
mengunjungi Bait Al-Maqdis, Bagdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Lebanon, Anthokiah dan Lembah Kan’an.[5]
Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari
Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim
(sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat
tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu
menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai
cinta dan ma'rifatulah yang hakiki.
Suatu
ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar
suara genderang berima rancak diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas
acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang
di sampingnya : "ada apa ini?". Orang tersebut menjawab : Itu sebuah
pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan
tari-tarian yang diiringi musik ". Tidak jauh dari situ terdengar suara
memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka.
"Fenomena apa lagi ini ?" begitu pikir sang wali. Iapun bertanya pada
orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab : "Oh ya, itu jeritan
orang yang salah satu anggota keluarganya meninggal. Mereka biasa
meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga ". Di sana ada suka
yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang
diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah
aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di
sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain
mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar ". Dan dengan hati yang pedih
ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).[6]
C. Perjalanan ke Dunia Tasawuf
Banyak
cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya.
Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas
hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak
dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang
mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya
mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.
Pengarang
kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby
menghadap Dzunnun dan bertanya "Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia
memanggil demi menghormatinya "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan
menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? ". "Sesuatu yang
menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu". Begitu jawab al-Misri
seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat
yang engkau sembah, ceritakan padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu
ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku
tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada
seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa
yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya.
Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba
bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu
dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian
Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan
minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk
bertekad : "Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri
pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai
Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku".
D. Pujian Para Ulama' Terhadap Dzunnun
Tidak
ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih
terpuji. Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika
Yang Maha Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta
manusia dibanding belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan
harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan
berikut ini hadir Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan
"Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak
ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Haal, dan adab". Tak kurang
Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan "Saya telah menemui 600
guru dan aku tidak menemukan ada
seperti
keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid
al-Basry". Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh
Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan "Dzunnun
telah menjadi Imam, bahkan Imam kita".[7]
Pujian
dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata.
Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : Sahl al-Tustari (salah
satu Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun
berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara.
Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang
tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia
menjawab "Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani
berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau.
Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku :
berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".
Sebelum
Al-Misri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ía adalah
orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat—isyarat tasawuf. Ia
pun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicàra tentang ahwal dan
inaqwnal para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan
pengertian yang bercorak sufislik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap
pernbentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejum lab
penulis menyebutnya sebagai salali seorang peletak dasar tasawuf.’
Pendapat
tersebut cukup beralasan mengingat AI-Mishri hidup pada masa awal
pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ía seorang sufi pengembara yang
memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya.
Keberaniannya itulah yang rnenyebab kannya harus berhadapan dengan
gelombang protes yang disertai dengari tuduhan zindiq. Akibatnya, ía
dipanggil menghadap Khalifah AI-Mutawakkil, namun ia dibebaskan dan
dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai
wali diakui secara umurn tatkala Ia meninggalkan dunia yang fana ini.[8]
a. Pengerüan Ma’rifat Menurut Dzun Al-Misri
Al Ghazali dalam ihya memandang bahwa ma’rifah datang sebelum mahabbah tetapi Al Kalabadi dalam al Ta’arruf menyebut
dan menjelaskan bahwa ma’rifah sesudah mahabbah, ada pula yang
berpendapat bahwa keduanya merupakan kembar dua yang selalu disebut
bersama, keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi
dengan tuhan, mahabbah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk cinta
dan ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan
dengan hati sanubari[9],
Al-Misri
adalah pelopor paham ma‘rifat, Penilaian ini sangatlah tepat karena
berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi—yang kemudian dianalisis
Nicholson—dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-sufiah fi Al-Islam;
Al-Misri berhasil mernperkenaikan corak baru tentang ma’rifat dalam
bidang sufisme Islam. Pertama, ía membedakan antara ma‘rifat sufiah
dengan ma‘rifat aqliyah. Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan
qalb yang biasa digunakan para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua
menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog.
Kedua,
menurut Al-Misri, ma‘rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah
(penyaksian hati), sebab ma‘riat merupakan fitrah dalam hati manusia
sejak azali. Ketiga, teori-teori ma’rifat Al-Misri menyerupai gnosisme
ala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan
menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang
sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.[10]
Pandangan-pandangan
Al-Mishri tentang ma’rifat pada mulanya sulit diterima kalangan teolog
sehingga ía dianggap sebagai seorang zindiq dan ditangkap khalifah,
tetapi akhirnya dibebas Berikut ini beberapa pandangannya tentang
hakikat ma’rifat
1.
Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilinu—ilinu
hurliwi dan nazliar milik para hakim, mutakalimin, dan ahii balaghah,
tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wall
Allah. Hal iiui karena mereka adalah orang yang nienyaksikan Al lab
dengan hatinya, sehingga terbukaia baginya apa yang tidak dibukakan
untuk hamba-hamba-Nya yang lain[11]
2.
Ma’rifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya ma’rifat yang rnurni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali
dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga ía
merasa hilang dirinya, lebur dalarn kekuasaan-nya, mereka merasa hamba,
mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka,
mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan
perbuatan Allah.[12]
Kedua
pandangan AI-Mishri di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah
tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pernbuktian-pembuktian,
tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia
dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini
tidak mempunyal arti lagi. Melalui pendekatan ini sifat-sifat rendah
manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang
sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya Ia
sepenuhnya hidup di dalam Nya dan lewat diri-Nya. Al-Misri membagi
pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
a. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
b. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ularna,
c. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.[13]
Menurut
Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan
dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut
dengan ma’rifat tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan jenis
ketiga harus disebut dengan ma’rifat Dan ketiga macam pengetahuan
tentang Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya—lah
yang paling tinggi tingkatan nya, karena mereka mencapal tingkatan
musyahadah, sebaiknya para ulama dan filosofi tidak dapat mencapai maqam
ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan,
sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam
perjalanan rohani Al-Misri mempunyai sistematika sendiri tentang jalan
menuju tingkat ma’rifat? Dari teks-teks ajarannya, Abdul Hamid Mahmud
mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebaga berikut:
a.
Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri
menjawab, ‘Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada
usaha untuk mengenal-Nya.”
b.
Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq
Al-inabah. adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan
benar, dan thariq ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa
pada seseorang karena merupakan urusan Allah semata.
c.
Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu
Darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalàn iman,
sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan
ma’rifat.
Menurut
pengalamannya, sebelum sampai pada maqam Al ma‘rjfat, Al-Misri melihat
Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta.
Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Misri, adalah sebagai
benikut,
a. Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
b. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
c. Banyaknya nikrnat Tuhan tidak mcndorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.[14]
Paparan
Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seorang arif yang sempurna selalu
melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa
bersama-Nya dalarn kondisi apapun, dan semakin dekat serta menyatu
kepada-Nya, Dzun Nun al-Mishri cenderung mengaitkan ma’rifat dengan syari’at, seperti katanya berikut: ” Tanda seorang arif itu ada tiga : cahaya ma’rifa-nya tidak memudarkan cahaya kerendahan hatinya, secara batiniah tidak mengukuhi ilmu yang menyangkal hukum lahiriah dan banyaknya karunia allah tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai larangan-Nya.”[15]
Menurut
Dzun Nun al-Mishri, Makrifat adalah: karunia Allah yang dilimpahkan
pada seorang arif, seperti yang dikemukakannya ketika di tanya: “Dengan apakah kau mengenal mengenal Tuhanmu?” Jawabnya: “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku! Tanpa Tuhanlu, aku tidak mungkin mengenal Tuhanku.[16]
Dalam kitabnya, al-Qalam ‘ala al-Basmalah, Dzun Nun al-Mishri, membagi makrifat ke dalam tiga klasifikasi : “Ma’rifa (mengenal ) Allah itu ada tiga macam, makrifat tauhid, yang ini bagi orang-orang beriman yang awam, ma’rifah
alasan dan uraian mengenai Tuhan, yang ini bagi para ilmuwan, dan
makrifat tentang sifat-sifat keesaan dan ketunggalan Tuhan, yang ini
bagi para wali dan kekasih Allah.”[17]
Menurut
Dzun Nun al-Mishri, tujuan kehidupan para sufi ialah mencapai tingkatan
makrifat, dimana tampak hakikat realitas yang dipahami seorang sufi
secara ketersingkapan, yang padanya tidak terdapat adanya dampak dari
akal budi maupun pandangan lahir. Hal ini adalah sesuatu yang
dikhususkan bagi kekasih-kekasih Allah tertentu, yang melihat dengan
pandangan batin mereka.[18]
F. Pandangan Dzu An-Nun AI-Mishri Tentang Maqamat Dan Ahwal
Maqamat
menurutnya adalah kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa
yang diusahakannya berupa ibadah, perjuangan, latihan dan perjalanan
menuju Allah Swt. Pandangan Al-Mishri tantang maqamat, dikemukakan pada
beberapa hal saja, yaitu At-taubah, Ash-shabr, Al-tawakal, dan Ar-rida.
Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyah terdapat keterangan yang berasal
dan Al-Mishri bahwa simbol-simbol zuhud adalah sedikit cita-cita,
mencintai kefakiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan
kesabaran. Kendatipun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang
disebut Al-Misri lebih sedikit dibandingkan dengan penulis sesudahnya.
Untuk
maqam pertama secara umum seseorang harus menempuh jalan tobat dimana
menurut Al-Mishri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat
khawas. Orang awam bertobat karena kelalaian (dan mengingat Tuhan).
Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai
kebaikan oleh Al-abrar justru dianggap sebagai dosa oleh Al- muqarrabin.
Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa
tobat adalah engkau melupakan dosamu. Pada tahap ini orang-orang yang
mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan
oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang
berkesinambungan. Lebih lanjut Al-Mishri membagi tobat menjadi tiga
tingkatan, yaitu:
1. Orang yang bertobat dan dosa dan keburukannya.
2. Orang yang bertobat dan kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan.
3. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.[19]
Pembagian
tobat atas tiga tingkatan tidak dapat dikatakan bertentangan dengan apa
yang telah disebut di atas. Pada pembagian Al-Mishri membagi lagi orang
khawas menjadi dua bagian sehingga jenis tobat dibedakan atas tiga
macam.
Sedangankan
untuk ahwal dapat di artikan sebagai pemberian yang tercurah kepada
seseorang dari tuhannya, baik buah dari amal shaleh yang menyucikan
jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari Allah sebagai pemberian
semata, dinamakan ahwal karena melalui hal tersebut seorang hamba
mengalami perubahan dari penampilan lahiriyah seorang makhluk dan
kedudukan yang jauh menuju kualitas yang tidak tanpak atas kedudukan
yang terdekat, ahwal sebagai perkara yang didambakan dalam tasawuf sebab
ahwal benih dari amal, ahwal tidak datang melainkan melalui amal yang
benar. Hanya orang yang berlaku baik dan benar yang akan mendapatkan
anugerah semacam itu.[20]
G. Cinta dan ma'rifat
Suatu
ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?".
"Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak
ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang
ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang
paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara:
dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat
keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan
merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".
Tentang
cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya
pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada
selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia
tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah satu tanda orang yang
cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam
akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan
(Islam) ini ada pada empat perkara: cinta pada Yang Agung, benci kepada
yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan
tergelincir (dalam kesesatan)".[21]
H. Konsep Ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri
Setelah
memaparkan sekelumit makna dari nama Dzun-Nun Al-Mishri, maka dibawah
ini penulis akan menyampaikan sedikit tentang konsep ma’rifah Dzun-Nun
Al-Mishri. Konsep ma’rifah Dzun-Nun tidak bisa lepas dengan makna yang
ia dapati dari namanya itu karena namanya itu menunjukkan sebuah
kepemilikan dan penguasaan terhadap makna dari huruf tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa huruf Nun yang menjadi sentral kehidupan
di dunia ini, maka untuk mencapai sentral tersebut manusia juga harus
memakai sentral dari diri manusia untuk bertemu dengan sentral kehidupan
ini. [22]
Sentral
yang disebut diatas adalah Qalbu, dimana qalbu ini adalah sentral dari
manusia dan untuk bertemu dengan sentral yang hakiki maka manusia harus
mengoptimalkan sentralnya supaya sampai kepada sentral yang hakiki.
Mengapa Qalbu atau hati disebut sebagai sebuah sentral, karena pada
qalbu ini berkumpul seluruh kelakuan dan tindakan manusia. Maka menurut
Dzun-Nun yang biasa dilakukan oleh hati tersebut adalah : emosi, dekat,
shahabat, cinta, mengenal, penyingkapan, menyaksikan, al-ittihad,
al-hulul, wahdatul wujud, dan wujudiyah.
Ada
sebuah perbedaan pengertian yang dimaksud oleh Dzun-Nun dengan
penyingkapan, perbedaan ini dibagi kepada tiga bagian, yaitu : al-Mukasyafah, inkisyaf, dan al-kasy-syaf. Yang dimaksud dengan al-Mukasyafah adalah saling keterbukaan dimana seorang hamba yang meminta dan Allah yang memberi; inkisyaf,
adalah penyingkapan atau keterbukaan Allah sebagai karunia kepada
hambanya dan seorang hamba hanya menerima saja, tidak dengan meminta.
Dimana pada bagian ini keterbukaan hanya diartikan sebagai karunia Allah dan manusia tidak meminta untuk keterbukaan tersebut; al-kasysyaf, pada hal ini tidak menggambarkan proses tentang bagaimana keterbukaannya akan tetapi adanya sebuah pengalaman keterbukaan.
Pada
penjelasan diatas disebutkan bahwasanya sentral kehidupan hanya bisa
dirasakan oleh sentral manusia, yaitu dimana hati manusia bisa merasakan
keterbukaan dengan Allah hanya dengan penglihatan hati yang menjadi
sentral kehidupan manusia. Menurut Dzun-Nun hati juga tidak serta merta
bisa melihat Allah karena hati yang paling dalamlah yang bisa sampai
melihat kepada Allah SWT. Sebelum kita langsung kepada hati yang dalam,
maka akan disebutkan beberapa lapisan hati yang harus dilalui seseorang
sebelum bisa ma’rifah kepada Allah SWT.
Dan lapisan-lapisan tersebut adalah : as-Suduur, al-Quluub, adh-Dhamaair, al-Fuwaaid, as-sir, sir al-asraar, dan Basyirah. Yang dimaksud dengan as-suduur
hati yang paling luar, pada fase ini hati mengalami penyempitan dan
perluasan, dia tidak bisa konsisten dalam pendiriannya masih tergoncang
dan belum istiqamah. Setelah lulus atau berhasil dalam tahapan ini, maka
akan masuk lebih dalam lagi kepada tahapan yang kedua, yaitu al-Quluub.
Setelah masuk kepada tahapan ini, maka hati seseorang tersebut akan
kokoh dan lebih istiqamah dalam pendiriannya. Selain itu orang yang
sudah sampai pada tahap ini maka dia akan merasakan ketenangan dalam
hatinya. Kemudian setelah lapisan kedua ini berhasil dan tetap konsisten
dengan keduanya, yaitu tahap pertama dan kedua.
Maka tahap selanjutnya adalah adh-Dhomaair, yaitu dimana bagian ini juga disebut sebagai bagian terdalam pada tahapan qalbu. Dia menyimpan dan menempatkan cahaya qalbu,
kalau dia sudah sampai pada tahap ini, maka dia akan memiliki kepekaan
atau biasa disebut dengan indera keenam. Setelah tahap ini maka
selanjutnya adalah al-Fuwaaid, pada tahapan ini orang sudah
separuh perjalanan untuk menggapai puncak ma’rifah. Jika seseorang sudah
sampai tingkatan ini maka orang tersebut tidak akan bisa dibohongi atas
apa yang dia lihat atau rasakan. Kemudian tahap selanjutnya as-Sir dan Sir al-Asraar,
tahapan ini adalah tahapan yang hampir mendekati kesempurnaan dan
mencapai ma’rifah. Tahapan ini adalah proses untuk mempersiapkan diri
kepada tahapan akhir, Maka tahapan terakhir, yaitu ketika setiap tahapan
tetap terjaga dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya,
maka sampailah pada tahapan Basyirah, yaitu tahapan akhir yang
bisa menyampaikan manusia untuk bisa melihat dan merasakan Allah SWT.
Dan hal ini disebut dengan ma’rifah.[23]
Menurut Dzun-Nun ma’rifah itu bisa diklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu : pertama, ma’rifah tauhid sebagai ma’rifahnya orang awam. Kedua, al-burhan wa al-istidlal
yang merupakan ma’rifahnya Mutakallimin dan para Filosof, yaitu
pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal. dan ketiga,
ma’rifah para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan
melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan. Dengan demikian, apabila dilihat dari
sisi epistimologi, ada tiga metoda ma’rifah yang berbeda, yakni metoda
transmisi, metoda akal budi, dan metoda ketersingkapan langsung.
Ma’rifah awam lebih bersifat penerimaan dan kepatuhan semata tanpa
dibarengi argumentasi, sedangkan ma’rifah Mutakallimin dan filosof
adalah pemahaman yang sifatnya rasional melalui berfikir spekulatif.
Lain halnya dengan ma’rifah para sufi atau aulia, adalah penangkapan dan
penghayatan langsung terhadap obyek sehingga ia merasakan dan melihat
obyek itu. Dan disini Dzun-Nun menegaskan bahwasanya ma’rifah itu
sepenuhnya adalah karunia dan pemberian Allah SWT.[24]
Jadi
kesimpulan menurut Dzun-Nun bahwasanya kalau kita ingin sampai pada
tingkat ma’rifah, maka kita harus melaluinya setahap demi setahap dan
dilakukan dengan kesungguhan dan keseriusan. Dan dia juga mengatakan
bahwasanya adanya perbedaan ma’rifah kepada Allah yang disebabkan oleh
kemampuan dan kesadaran dia sebagai makhluk. Ma’rifah juga sepenuhnya
diberikan oleh Allah SWT atas karunianya dan kasih sayangnya. Maka
seorang hamba tidak akan sampai pada tingkat ma’rifah tanpa usaha dan
anugrah serta karunia Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah uraian-uraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
2. Ma’rifat yang sebcnarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
2. Pengetahuan khusus untuk para filosofdan ularna,
Abdul Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebagal berikut:
a.
Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri
menjawab, ‘Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada
usaha untuk mengenal-Nya.”
b.
Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq
Al-inabah. adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan
benar, dan thariq ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa
pada seseorang karena merupakan urusan Allah semata.
c.
Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu
Darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalàn iman,
sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan
ma’rifat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar