Reza A.A Wattimena
Pada
bab sebelumnya kita sudah berdiskusi sejenak mengenai fenomenologi yang
dirumuskan Edmund Husserl. Ia merumuskan suatu cara untuk memahami
realitas, terutama dengan menekankan fenomena keterarahan kesadaran pada
obyek yang selalu berada di dalam konteks dunia kehidupan tertentu.
Pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan anda pada pemikiran Martin
Heidegger yang notabene adalah murid dari Husserl. Heidegger
mengembangkan filsafat Husserl ke level ontologi, yakni refleksi
mengenai realitas keseluruhan sebagai “Ada”. Sebagai acuan teks saya
melihat pada tulisan Dorothea Frede yang berjudul The Questions of Being: Heidegger’s Project.
Ingatkah anda metode elenchus
khas Sokrates yang sudah diterangkan sebelumnya? Jika tidak coba lihat
kembali ke bab-bab sebelumnya. Heidegger adalah seorang yang sangat ahli
di dalam metode Sokratik. Di dalam kuliah-kuliahnya, ia seringkali
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada para pendengar kuliahnya,
supaya mereka menjadi bingung, dan mempertanyakan semua asumsi-asumsi
pemikiran yang mereka miliki, serta dapat memulai diskusi dengan
pemikiran terbuka.
Proyek utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan makna “ada”.
Konsep itu sendiri memang sudah menjadi bagian dari refleksi filsafat
selama berabad-abad. Heideggerlah yang kemudian menggunakan kembali
konsep tersebut di dalam filsafatnya. Namun apa sesungguhnya arti kata
Ada? Apa arti penting dari konsep itu? Di dalam filsafat Heidegger, kata
itu sendiri memiliki beragam makna. Salah satu komentator otoritatif
atas filsafat Heidegger yang bernama Hubert Dreyfus pernah berpendapat,
bahwa Ada adalah latar belakang dari semua tindakan keseharian manusia
yang dapat dipahami dengan akal budi. Thomas Sheehan, ahli Heidegger
lainnya, berpendapat bahwa konsep Ada merupakan konsep yang mencakup
keseluruhan realitas. Ada adalah konsep yang ada di dalam setiap bentuk
pengetahuan manusia tanpa terkecuali.
Setiap pemikir besar biasanya memiliki satu ide dasar yang sifatnya
revolusioner. Ide dasar ide dasar itu biasanya merupakan jawaban atas
suatu pertanyaan yang juga tak kalah revolusioner. Pertanyaan itulah
yang nantinya membimbing seluruh refleksi filosofis filsuf besar
tersebut. Hal ini kiranya berlaku di dalam filsafat Heidegger. Menurut
penelitian yang dibuat oleh Frede, pertanyaan yang menggantung di
seluruh filsafat Heidegger sebenarnya adalah, apa maksud sesungguhnya
dari konsep Ada? Di dalam filsafat pertanyaan ini berada di ranah
ontologi, yakni penyelidikan tentang Ada yang merupakan dasar dari
seluruh realitas. Maka dapat juga dikatakan, bahwa filsafat Heidegger
berfokus pada ontologi. Namun ontologi Heidegger tidak sama dengan
ontologi yang sudah ada sebelumnya. Searah dengan perjalanan waktu,
makna dari pertanyaan tentang Ada pun sudah berubah.
Tentu saja bagi banyak orang, terutama yang tidak berkecimpung secara
khusus di dalam dunia filsafat, pertanyaan yang diajukan Heidegger
tampak agak bodoh. Jika ditelusuri secara mendalam, konsep Ada
sebenarnya ada di dalam setiap hal, sepertiada batu, ada manusia, ada
hewan, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang
menempati ruang dan waktu tertentu di alam semesta ini memiliki ada. Segala sesuatu berada. Lalu konsep ada
manakah sebenarnya yang dimaksud Heidegger? Ataukah ia mencari Ada yang
mendasari seluruh realitas? Jika dilihat dari karya-karyanya, Heidegger
hendak menemukan Ada yang mendasar ada-ada lainnya, yang terdapat
memang terdapat di semua hal. Maka dari itu pertanyaan tentang ada
haruslah diubah menjadi, apakah yang dimaksud dengan Ada yang mendasari
ada-ada lainnya di dalam realitas?
Pada tulisan ini saya tidak mau, dan mampu, untuk menelusuri
karya-karya Heidegger seutuhnya. Di dalam tulisan ini, saya akan mencoba
memasuki ontologi Heidegger, yakni problem tentang Ada yang
digelutinya, sambil mencoba mengkaitkan dengan gurunya yang juga
merupakan bapak fenomenologi, yakni Edmund Husserl. Selain itu Heidegger
juga banyak mendasarkan pikirannya pada filsafat Yunani Kuno. Ia banyak
mendapatkan inspirasi dari mereka di dalam prosesnya mempertanyakan
makna ada, walaupun nantinya Heidegger akan mengembangkan rumusannya
sendiri. Menurut penelitian Frede ketertarikan Heidegger pada masalah
Ada dan ontologi secara keseluruhan dimulai, ketika ia membaca tulisan
Franz Brentano yang berjudul On the Several Sense of Being in Aristotle. Apa sebenarnya hubungan Heidegger dengan para filsuf Yunani Kuno, terutama di dalam prosesnya untuk memahami Ada?
Heidegger Muda
Salah seorang filsuf Yunani Kuno yang terbesar, Aristoteles, pernah
berusaha mendefinisikan ontologi, yakni sebagai ilmu tentang ada (science of being).[3]
Bahkan sebelum filsafat Yunani Kuno berkembang, konsep Ada sudah
memperoleh porsi besar di dalam refleksi para pemikir. Mereka kerap
menyebutnya sebagai “apa yang sesungguhnya”, atau “dasar”. Konsep Ada
melibatkan dua hal yang sangat penting di dalam diri seorang pemikir,
yakni kemampuan berabstraksi, yakni menarik apa yang sama dari segala
sesuatu yang berbeda di dalam realias, dan kemampuan refleksi, yakni
menilai diri sendiri dan berpikir secara mendalam. Para filsuf Yunani
Kuno juga ingin bertanya, apakah Ada itu sesuatu yang tunggal atau
jamak? Apakah ada itu satu atau banyak?
Menurut Frede orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan tentang
Ada secara sistematik adalah Plato. Ia melakukan perdebatan tentang
konsep Ada dengan para sofis, yakni para pengajar retorika. Kaum sofis
sendiri tidak percaya adanya kebenaran mutlak. Bagi mereka segala
sesuatu sifatnya relatif di muka bumi ini. Maka dari itu hal yang salah
bisa jadi benar, dan sebaliknya, selama orang mampu memberikan
argumentasi tentangnya. Bagi Plato sendiri problematika terkait dengan
Ada adalah problem gigantotnacbia,
yang berarti problem para raksasa pemikiran. Heidegger sendiri sadar
akan hal ini. Namun pemikir yang sungguh-sungguh memberikan pengaruh
besar di dalam ontologi, ilmu tentang Ada, adalah Aristoteles, murid
Plato. Heidegger sendiri memang banyak berpijak pada pemikiran
Aristoteles. Ia juga berpendapat bahwa seluruh sejarah pemikiran manusia
adalah sejarah kelupaan akan ada (forgetfulness of being).
Di dalam tulisan-tulisannya, Aristoteles membedakan beragam ada seturut
kategori pengertiannya. Kategori utama adalah substansi (substance),
yakni sesuatu yang sifatnya cukup diri; tidak membutuhkan suatu apapun
di luar dirinya. Beragam kategori lainnya berada di dalam ataupun dalam
hubungan dengan substansi tersebut. Kategori-kategori itu adalah
kuantitas, kualitas, relasi, ruang, waktu, tindakan, afeksi, posisi, dan
kepemilikan. Misalnya anda melihat sebuah batu. Batu baru sungguh
bermakna bagi manusia, jika ia dikenakan predikat. Dan setiap predikat
selalu merupakan salah satu dari kategori-kategori Ada lainnya, baik
kuantitas, kualitas, ruang, dan sebagainya. Dalam arti ini menurut
Aristoteles, kategori-kategori Ada bukanlah ciptaan manusia, melainkan
sudah selalu berada di dalam realitas yang tersusun secara logis.
Kategori ada adalah realitas, dan bukan konstruksi pikiran manusia.
Dengan posisinya itu Aristoteles dapat dikategorikan sebagai seorang
realis metafisikus. Ia mengakui keberadaan obyektif dari
kategori-kategori Ada, maka ia disebut sebagai seorang realis. Dan ia
menjadikan konsep Ada sebagai pusat penyelidikannya, maka ia disebut
sebagai seorang metafisikus. Seluruh alam semesta menurutnya terdiri
dari struktur-struktur obyektif dari Ada. Inti dari struktur obyektif
itu adalah substansi. Semua bentuk kategori lainnya menempel pada
substansi tersebut. Dalam arti ini juga, tidak ada kesatuan utuh di
dalam konsep Ada, karena konsep Ada itu sendiri terdiri dari substansi
dan predikat-predikat dari substansi tersebut, seperti kualitas,
kuantitas, dan sebagainya. Tidak ada kesatuan ada (unified of being). Yang ada adalah analogi dari berbagai bentuk kategori Ada.
Di dalam filsafat selanjutnya, konsep substansi menjadi tema sentral di
dalam seluruh refleksi filsafat, terutama metafisika. Heidegger pun
menjadi salah satu filsuf yang bergulat dengan tema ini. Baginya konsep
ada di dalam filsafat Aristoteles masihlah kosong. Kekosongan itu diisi
oleh para filsuf abad pertengahan dengan ajaran-ajaran Kristiani,
seperti yang misalnya dilakukan dengan sangat mengagumkan oleh Thomas
Aquinas. Pada filsuf neothomisme di abad kedua puluh juga masih mengacu
pada Aristoteles di dalam refleksi mereka tentang substansi.[4]
Heidegger sendiri pun membutuhkan waktu lama untuk melampaui tradisi
berpikir Aristotelian ini. Bahkan menurut Frede tulisan-tulisan
Heidegger sebelum Being and Time, seperti pada The Doctrine of Judgment in Psychologism (yang merupakan disertasi doktoralnya) dan The Theory of Categories and Meaning of Duns Scotus,
tidak menunjukkan orisinalitas ataupun pemikiran-pemikiran
revolusioner. Andaikata ia puas dengan karya-karya itu, tentu saja
namanya tidak akan dikenal sebagai salah satu filsuf terbesar sepanjang
sejarah. Dan kita tentunya tidak akan menjadikan pemikirannya sebagai
tema diskusi.
Walaupun tidak dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner,
pemikiran-pemikiran Heidegger muda sebenarnya juga mengandung argumen
yang kuat. Ia berpendapat bahwa makna dari kesadaran manusia tidak akan
pernah bisa didapatkan hanya dengan sekedar mengamati realitas dengan
panca indera. Argumen ini membawanya kepada fenomenologi Edmund Husserl.
Kesadaran manusia berbeda dengan apa yang disadarinya sebagai ada.
Dalam hal ini kita perlu membedakan isi pikiran itu sendiri, dengan
obyek dari pikiran tersebut. Orang bisa berpikir tentang makanan. Namun
satu hal yang pasti, bahwa pikiran itu sendiri bukanlah makanan. Arti
dari pikiran berbeda dengan tindak berpikir. Begitu pula konsep Ada itu
sendiri berbeda dengan ada-ada lainnya yang melekat di dalam segala
sesuatu yang ada di dalam realitas.
Sewaktu muda pikiran Heidegger belum menyentuh upaya untuk merumuskan
konsep Ada sebagai sesuatu yang utuh dan universal. Ia masih melihat ada
sebagai sesuatu yang melekat pada benda-benda lainnya. Perkembangan
pesat di dalam pemikiran Heidegger muncul, ketika ia menyelesaikan karya
keduanya, yakni tentang pemikiran Duns Scotus. Heidegger tertarik pada
pemikiran Duns Scotus, karena ia adalah filsuf pertama yang menolak
sistem kategori dan substansi Aristoteles. Bagi Scotus sistem
Aristoteles tidaklah mencukupi untuk memahami konsep Tuhan. Memang
Scotus adalah seorang filsuf abad pertengahan yang berusaha memberikan
pemahaman rasional terhadap konsep Tuhan. Baginya Tuhan tidak sama
dengan substansi. Kebaikan Tuhan juga tidak sama dengan kebaikan di
dalam benda-benda lainnya.
Menurut Heidegger pemikiran Scotus sudah membuka kemungkinan untuk
mengembangkan refleksi tentang Ada yang sama sekali baru. Dalam arti ini
ada tidak hanya berlaku untuk benda-benda, tetapi juga untuk manusia.
Dengan kata lain ada menjadi bagian dari seluruh realitas, termasuk
realitas hakiki manusia. Pertanyaan tentang ada bergeser menjadi
pertanyaan tentang relasi antara manusia dengan dunia. Bagi Scotus
relasi antara dunia dan manusia melibatkan konsep subyektivitas.
Subyektivitas membuat manusia mampu memaknai dunianya, dan proses
pemaknaan itu selalu melibatkan jaringan makna yang lebih luas. Tugas
filsuf menurut Heidegger adalah menjelaskan jaringan makna yang
melatarbelakangi tindak pemaknaan atas dunia tersebut. Jaringan makna
itu adalah struktur dari realitas. Itulah Ada.[5]
Namun menurut Scotus konsep ada berbeda-beda untuk setiap hal. Ia kemudian membedakan dua hal, yakni ada dari alam (being of nature) dan ada dari akal budi (being of reason).
Dalam arti ini kebenaran yang ada di dalam akal budi tidak otomatis
sama dengan kebenaran yang ada di dalam alam. Pikiran adalah penanda.
Sementara benda di alam adalah petanda. Penanda dan petanda memang
berhubungan, tetapi tidak selalu sama. Tanda untuk menunjukkan dilarang
merokok tidak harus sama dengan orang yang ingin dilarang untuk merokok
bukan? Dalam hal ini Heidegger sependapat dengan Scotus. Heidegger pun
menolak teori cermin tentang realitas. Ia menolak bahwa pikiran kita
sungguh mencerminkan apa yang ada di dalam realitas.
Satu hal dari pemikiran Scotus yang kiranya sungguh mempengaruhi
Heidegger adalah, bahwa walaupun pikiran dan realitas itu tidak selalu
sama, namun keberadaan realitas itu sendiri ditentukan oleh pengertian
subyek tentangnya. Inilah yang disebut sebagai subyektivitas yang
obyektif (objective subjectivity). Yang obyektif adalah adalah yang diberikan sebagai obyektif (object-givenness) oleh bahasa kepada pikiran manusia. Di dalam karya terbesarnya yang berjudul Being and Time,
Heidegger menitikberatkan keterkaitan antara bahasa, penafsiran, dan
alam obyektif. Pemahaman manusia tidak pernah merupakan pemahaman
tentang dunia pada dirinya sendiri, melainkan selalu sudah dijembatani
oleh bahasa dan penafsiran. Dan penafsiran maupun bahasa selalu sudah
tertanam di dalam jaringan makna kultural tertentu.
Being and Time
Lalu apa beda filsafat Heidegger dengan filsafat tradisional lainnya
yang banyak berbicara tentang ada? Ada jarak waktu 12 tahun sebelum
Heidegger menulis karya terbesarnya yang berjudul Being and Time dari karya sebelumnya. Menurut Frede gaya berfilsafat Heidegger di dalam Being and Time
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl. Namun walaupun
berhutang pada Husserl, Heidegger tetap memiliki banyak perbedaan
argumen dengannya. Setidaknya ada dua bentuk pengaruh Husserl yang
sangat jelas di dalam pemikiran Heidegger. Yang pertama Heidegger
sendiri sudah mengakui, bahwa ia sangat terpengaruh oleh buku karangan
Husserl yang berjudul Logical Investigations. Pada
waktu ia bertemu secara langsung dengan Husserl, Heidegger kemudian
menyadari betul peran fenomenologi di dalam persoalan tentang ada. Dalam
arti ini bisa juga dikatakan, bahwa Being and Time adalah upaya Heidegger untuk menerapkan metode fenomenologi untuk memahami ada.[6]
Walaupun sudah dibahas pada bab sebelumnya, ada baiknya kita mengingat
kembali inti dari fenomenologi Husserl. Salah satu konsep kunci di dalam
fenomenolog Husserl adalah intensionalitas. Menurutnya setiap aktivitas
manusia, baik fisik maupun mental, seperti berpikir, selalu mengarah
pada suatu fenomena obyektif di luar dirinya. Dalam arti ini kesadaran
tidak pernah kesadaran pada dirinya sendiri, melainkan kesadaran akan
sesuatu. Setiap obyek di luar diri manusia hanya bisa dipahami sejauh
obyek tersebut dipahami oleh kesadaran. Jika ingin memahami hakekat dari
semua benda-benda yang ada di dunia, maka kita harus melihat kaitannya
obyek itu dengan kesadaran manusia yang mempersepsinya.
Husserl juga berpendapat bahwa isi dari kesadaran adalah sesuatu yang murni, atau yang disebutnya sebagai aku murni (pure I).
Aku murni adalah dasar dari pengetahuan. Sementara fakta-fakta dunia
hanyalah kemungkinan. Jika kita ingin mengetahui hakekat dari obyek di
luar diri kita, maka yang harus kita lakukan justru adalah memahami
kesadaran yang membuat kita bisa mengetahui obyek tersebut. Husserl
berpendapat bahwa inti dari filsafat bukalah obyek empiris, melainkan
isi dari kesadaran manusia. Dalam arti ini filsafat, terutama
fenomenologi Husserl, memang menjadi pendekatan yang berpusat pada ego
manusia.
Husserl dapat dianggap sebagai seorang filsuf subyektivis transendental (transcendental subjectivist).
Subyektivisme transendental sendiri adalah paham yang berpendapat,
bahwa subyektivitas merupakan sumber dari semua bentuk pengetahuan,
pikiran, dan pengalaman manusia. Lalu dimanakah tempat dunia eksternal?
Husserl masih memberikan tempat besar bagi dunia fisik eksternal. Namun
di dalam fenomenologi, dunia eksternal berusaha ditunda terlebih dahulu,
sehingga pemahaman subyek tentang dunianya bisa tampak. Yang menjadi
fokus utama fenomenologi adalah pengalaman subyek dan isi kesadarannya,
ketika berusaha memahami dunia.
Heidegger
setuju dengan Husserl, ketika ia menyatakan bahwa ada dari benda-benda
terletak di dalam pengertian manusia tentang benda-benda tersebut. Namun
setidaknya ada empat hal dari pemikiran Husserl yang tidak disetujui
oleh Heidegger. Yang pertamaadalah
ia tidak setuju dengan kecenderungan Husserl untuk memusatkan seluruh
analisisnya pada manusia sebagai subyek. Fakta bahwa manusia bisa sadar
akan sesuatu tidak menjamin, bahwa ia memahaminya secara utuh. Di dalam
tulisan-tulisannya, Heidegger menunjukkan bahkan pengetahuan manusia
tentang dirinya sendiri juga bisa jatuh dalam kesalahan.[7] Yang kedua
Heidegger tidak setuju dengan konsepsi Husserl tentang “menaruh di
dalam kurung”. Tidak mungkin manusia bisa menaruh di dalam kurung
pertimbangan-pertimbangannya tentang dunia eksternal. Sebaliknya
pertimbangan-pertimbangan itu harusnya dijadikan bagian utuh dari proses
penafsiran manusia atas dunianya.
Yang ketiga
menurut Heidegger, filsafat Husserl nantinya akan terkurung ke dalam
subyektivisme, yakni paham yang berpendapat bahwa dunia luar berada di
dalam diri manusia. Memang Husserl mengatakan bahwa kesadaran selalu
terarah pada obyek, dan keberadaan obyek sangatlah tergantung pada
kesadaran manusia. Paham itu bisa dengan mudah digeser menjadi
pernyataan, bahwa obyek, atau dunia luar itu sendiri, berada di dalam
kesadaran manusia.Yang keempat
bagi Heidegger, fenomenologi Husserl masih terjebak pada filsafat
tradisional, yakni bahwa kesadaran adalah sesuatu yang bisa diselidiki
dengan cara menciptakan refleksi yang berjarak dari manusia itu sendiri.
Penolakan terhadap pandangan-pandangan Husserl ini membantu Heidegger
merumuskan pandangannya sendiri di dalam karya terbesarnya, yakni Being and Time.[8]
Buku Being and Time
memiliki dua proyek dasar. Yang pertama adalah proyek untuk merumuskan
cara baru dalam menafsirkan seluruh sejarah filsafat. Yang kedua adalah
klarifikasi konsep ada itu sendiri. Proyek yang kedua memang telah lama
menjadi obsesi pribadi Heidegger. Dalam bahasa teknis Heidegger, kedua
proyek itu disebut juga sebagai Ontological Analytic of Dasein as Laying Bare the Horizon for an Interpretation of the Meaning of Being in General danDestroying the History of Ontology.
Karena
Heidegger sendiri memang terobsesi dengan proses untuk menghancurkan
ontologi, maka saya, dengan mengacu pada Frede, akan menerangkan proyek
ini terlebih dahulu. Tidak ada nuansa kekerasan di dalam pemikiran
Heidegger, walaupun ia memang menggunakan kata Desttuktion. Di dalam bahasa Jerman, arti kata itu agak berbeda dengan terjemahan Inggrisnya, yakni destruction. KataDesttuktion
lebih berarti suatu upaya untuk membuktikan adanya kesalahan berpikir
di dalam filsafat Kant, Descartes, dan Aristoteles. Kesalahan berpikir
itu bukanlah sesuatu yang disengaja, namun memang tak terhindarkan.
Menurut
Heidegger seluruh sejarah metafisika dan ontologi di dalam filsafat
barat mengalami apa yang disebutnya kelupaan akan ada (forgetfulness of being).
Para filsuf berpikir bahwa ada itu tidak memiliki konsep yang konkret,
dan juga bahwa ada hanya bisa dipahami melalui pengada-pengada, seperti
manusia, tuhan, konsep-konsep, dan sebagainya. Cara berpikir ini
sebenarnya sudah dimulai sejak Aristoteles. Bagi Aristoteles segala
sesuatu yang tidak memiliki kategori-kategori ada, seperti kualitas,
kuantitas, substansi, dan sebagainya, berarti tidak bisa diketahui. Maka
dari itu seperti sudah ditulis sebelumnya, Ada hanya dapat diketahui
melalui benda-benda konkret di dalam realitas.[9]
Heidegger
juga tidak setuju dengan pandangan tradisional yang mengatakan bahwa
ada merupakan konsep yang independen dari pikiran manusia. Baginya
inilah sebab kebuntuan berbagai refleksi filsafat tentang ada di dalam
sejarah, yakni ketika ada dipandang sebagai obyek yang keberadaannya
dapat dilepaskan dari manusia sebagai sosok pengamat. Filsafat Descartes
dan Kant, yang memang sangat berpusat pada subyek, juga tidak
mengurangi kesulitan di dalam memahami ada tersebut. Manusia seolah
adalah subyek yang memandang dunia sebagai obyek secara berjarak. Jika
manusia adalah subyek yang terpisah dari dunia sebagai obyeknya, maka
bagaimana ia bisa tahu mengenai dunianya? Ini adalah salah satu tema
penting di dalam epistemologi, yakni refleksi filsafat pengetahuan.
Pertanyaan
yang juga muncul dari argumen ini adalah, bagaimana kita bisa menjamin
kebenaran, jika pengetahuan hanya merupakan impresi dari subyek atas
dunia? Kant dengan filsafatnya hendak menjawab pertanyaan itu. Namun ia
sendiri tampaknya masih terjebak pada konsep benda-pada-dirinya-sendiri.
Konsep ini seolah tidak bisa dipahami, karena berada di luar pemahaman
manusia. Jadi walaupun konsep benda-pada-dirinya-sendiri tidak bisa
diketahui, namun di dalam pemikiran Kant, konsep itu menempati peran
yang sangat penting di dalam proses pembentukan realitas itu sendiri.
Dengan tidak jelasnya konsep itu, bagi Heidegger, filsafat Kant belum
secara radikal memberikan terobosan di dalam ontologi dan metafisika.
Heidegger
lebih jauh berpendapat, bahwa seluruh problem di dalam filsafat modern
muncul, karena terpisahnya subyek, yakni manusia, dari obyek, yakni
dunia yang dipersepsinya. Inilah yang disebut Heidegger sebagai
‘membelah dan menghancurkan fenomena’ (splitting asunder of the phenomena).
Keterpisahan subyek manusia dan dunia obyektif yang dipersepsinya
adalah penyebab utama dari begitu banyak problem di dalam filsafat yang
tidak terselesaikan secara tuntas.[10] Heidegger juga menyebut sikap ini sebagai sikap alamiah (natural way)
yang mengisolasi obyek dari subyek, dan sebaliknya. Sikap berjarak
memang diperlukan, baik di dalam refleksi filsafat yang mendalam maupun
di dalam ilmu pengetahuan. Namun orang tetap harus ingat, bahwa sikap
berjarak itu sifatnya artifisial, yakni hanya untuk memperoleh
pengetahuan dari satu sisi saja, dan tidak dari keseluruhan aspek.
Di
dalam ilmu-ilmu positivis, seperti psikologi positivistik, seorang
pengamat dianggap memiliki status istimewa terhadap obyek yang diamati.
Cara pandang positivistik ini menganggap obyek, yang sering juga adalah
manusia itu sendiri, adalah subyek yang tidak memiliki dunia (worldless).
Cara pandang semacam inilah yang ingin ditentang secara keras oleh
Heidegger. Baginya manusia yang merupakan subyek pengamat adalah bagian
dari dunia yang sama dari obyek yang diamati, yakni dunia. Manusia
adalah mahluk yang selalu ada di dunia (being in the world) bersama dengan benda-benda fisik maupun mahluk hidup lainnya. Konsekuensinya manusia adalah mahluk yang ada bersama (being among) dan terlibat (involve) dengan dunia yang sudah selalu ada.
Namun
sampai akhir hidupnya, Heidegger tidak pernah menyelesaikan proyek
destruksi metafisikanya. Buku yang membuat pemikirannya dikenal banyak
orang, Being and Time,
tidak pernah selesai. Niat Heidegger untuk melakukan destruksi
metafisika-ontologi, dan sekaligus mengajukan suatu cara baru untuk
memahami Ada tampaknya memang tidak akan pernah tercapai. Pada bagian
kedua Being and Time, ia sendiri berniat untuk membalikkan proyek buku itu, yakni menjadi Time and Being. Namun tampaknya ia tidak pernah bisa menyelesaikan proses penulisannya, dan segera beralih ke tema-tema filosofis lainnya.
Di dalam Being and Time,
Heidegger hendak memahami ada dari seluruh realitas dalam artinya yang
paling dinamis, sesuai dengan perkembangan dan perubahan realitas itu
sendiri. Di dalam metafisika-ontologi tradisional, konsep ada tidak
dipahami dalam temporalitas waktu. Padahal konsep waktu seperti yang
selalu ditekankan Heidegger sangat terkait dengan konsep ada itu
sendiri. Untuk mengubah pemahaman tentang ada itu sendiri, Heidegger
lalu mencoba memahami ada melalui mahluk yang mampu memikirkan dan
menanyakan ada, yakni manusia sendiri. Bagi Heidegger manusia bukanlah
entitas yang terisolasi, ataupun tidak memiliki dunia sebagai latar
belakangnya. Manusia adalah mahluk yang dari dasar dan hakekatnya sudah
dibentuk oleh dunia.
Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa modus mengada (modes of being)
dari manusia adalah ada-bersama-dunia, ada-di-dalam-dunia, dan
sekaligus ada-disana. Namun ketiga modus mengada itu pun belum
mencukupi. Modus mengada hanya berlaku untuk manusia yang menanyakan
ada, dan bukan untuk ada itu sendiri. Di dalamBeing and Time,
Heidegger memang banyak menganalisis tentang manusia sebagai mahluk
penanya ada, dan bukan ada itu sendiri. Jika Heidegger tidak melanjutkan
refleksi filsafatnya, maka sebenarnya ia tidak beranjak jauh dari
pemikiran Husserl. Heidegger hanya melukiskan modus mengada manusia
dalam kaitannya dengan dunia, tanpa menusuk langsung ke pertanyaan
tentang ada itu sendiri, yang seharusnya menjadi inti dari proyek
filosofisnya.[11]
Namun untungnya filsafat Heidegger maju lebih jauh. Ia pertama-tama memperkenalkan konsep perawatan/memelihara (care).
Memelihara sendiri adalah relasi dasar antara manusia dengan alam.
Karena manusia selalu berada di dalam relasi keterlibatan (involvement)
dengan alam, maka sudah selayaknya ia ikut merawat dan memelihara alam
itu sendiri. Tindak memelihara disini bukanlah tindakan amal, melainkan
sudah melambangkan relasi fundamental antara manusia dengan alam, dan
sebaliknya. Heidegger juga berpendapat bahwa manusia adalah bagian dari
alam keseluruhan, karena ia selalu ada-di-dalam-dunia (being in the world).
Jadi manusia dan alam berada di dalam kesatuan ontologis yang utuh
serta tak terpisahkan. Maka dari itu sikap yang tepat dari manusia
terhadap alam adalah sikap yang memperlakukan alam sebagai bagian dari
diri manusia itu sendiri. “Kita”, demikian tulis Frede dalam tulisannya
tentang Heidegger, “memproyeksikan diri kita sendiri, seluruh eksistensi
kita, ke dalam dunia dan memahami diri kita dan semua hal di dunia ini
dalam bentuk kemungkinan bentukan kita tentang diri kita sendiri.”[12]
Manusia dan alam adalah satu, karena gambaran tentang dunia adalah
gambaran manusia tentang dunia. Kedua hal itu tidak bisa dipisahkan.
Segala
sesuatu bisa diketahui, karena manusia memaknainya. Dan makna itu bisa
diterima, karena kita, manusia, adalah bagian dari pemaknaan itu
sendiri. Di dalam dunia manusia membangun dan mencipta ulang dirinya
sendiri. Segala sesuatu yang bermakna bagi manusia juga sudah selalu
terletak di dalam dunia. Manusia dan dunia adalah suatu proyek. Proyek
adalah suatu harapan akan masa depan. Harapan akan masa depan itu tidak
didasarkan pada kekosongan, melainkan pada pengertian kita tentang dunia
yang ada sekarang ini. Masa lalu memang mempengaruhi manusia, namun
manusia tetap terikat dan tertanam di dalam masa kini. Kekinian itulah
dunia (world)
yang mengikat dan memberikan makna bagi kehidupan kita sehari-hari.
Manusia terhisap di dalam temporalitas kekinian, dan kekinian itulah
yang mengikat manusia dengan dunia. Manusia selalu terlibat dengan dunia
di dalam kekiniannya.
Inilah inti dari konsep temporalitas (temporality)
di dalam filsafat Heidegger. Dengan konsep itu ia tidak hanya mau
mengatakan, bahwa manusia itu adalah mahluk yang hidup dalam waktu, atau
memiliki intuisi tentang waktu, melainkan bahwa manusia hidup dalam
tiga dimensi waktu sekaligus, yakni berharap untuk masa depan, mengingat
apa yang sudah berlalu, dan terhisap serta terikat di dalam kekinian (presentness).
Keserentakan dari ketiga momen itu, yakni yang lalu, sekarang, dan masa
depan, itulah yang disebut sebagai temporalitas, menurut Heidegger.
Dalam arti ini kekinian murni (here and now)
adalah suatu ilusi, karena manusia tidak pernah berada di dalam
kekinian murni, melainkan selalu sudah menghidupi dirinya dalam ketiga
momen, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Fenomenologi sebagai Ontologi
Dalam arti apakah fenomenologi menjadi ontologi di tangan Heidegger?
Fenomenologi adalah ilmu tentang fenomena. Secara spesifik fenomenologi
ingin kembali kepada obyek itu sendiri. Artinya fenomenologi menolak
semua rumusan teori, asumsi, maupun prasangka yang seringkali justru
mengaburkan proses untuk mencapai pengetahuan. Fenomenologi ingin
memahami esensi dari kesadaran manusia sebagaimana dilihat dari sudut
pandang orang pertama. Di tangan Husserl fenomenologi menjadi suatu
displin tersendiri yang berbeda dari ilmu-ilmu manusia lainnya.
Heidegger melihat potensi besar di dalam fenomenologi. Namun ia tidak
lagi menggunakannya semata untuk memahami esensi kesadaran manusia.
Fokus dari filsafat Heidegger adalah untuk memahami ada. Jadi dia
menerapkan fenomenologi untuk memahami ada. Dalam arti inilah
fenomenologi berubah menjadi ontologi. Untuk memahami ada Heidegger
awalnya mencoba memahami mahluk penanya ada, yakni manusia itu sendiri,
yang selalu berelasi dengan dunia. Manusia dan dunia adalah satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Manusia dan dunia itulah ada itu sendiri.
Ada yang tidak terjebak pada ada-ada lainnya di dalam realitas,
melainkan ada yang menjadi realitas itu sendiri. Filsafat Heidegger
adalah suatu upaya untuk memahami Ada yang menyingkapkan dirinya.***
http://rumahfilsafat.com/2009/09/02/fenomenologi-ontologi-martin-heidegger/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar