Dewasa ini manusia mulai menyadari dirinya sebagai “makhluk yang
mendunia”. Bersamaan dengan itu manusia juga “memanusiawikan dunia”
melalui keterlibatan praktisnya dalam dunia. Manusia memahami dirinya
bukan sebagai roh murni yang menghuni segumpal daging, bergerak dalam
dunia dan menghadapi sejumlah obyek. Manusia juga bukan obyek diantara
obyek-obyek yang lain. Manusia itu “mendunia” dan karena itu juga
menghayati dunia. Ponty adalah salah seorang pemikir yang berusaha
mengungkit penghayatan-penghayatan pra-reflektif manusia mengenai diri
dan dunianya. Karya pemikiran Maurice Merleau-Ponty dalam bukunya yang
termasyur “Phenomenology of Perception” berbicara tentang “tubuh” sampai pada kesimpulan: Manusia “Berada-di-Dunia”.
Seperti juga Sartre Ponty juga menaruh perhatian besar terhadap
politik, terutama setelah perang dunia ke dua yaitu sikap mana yang
harus diambil antara Marxisme dan Komnunisme. Dalam pemikiran
fenomenologinya Ponty mengemukakan kritik tajam atas pendapat Sartre
tentang kebebasan. Inti kritik Ponty terhadap Sartre adalah bahwa
kebebasan mau tidak mau harus disituasikan. Kebebasan selalu dijalankan
dalam suatu situasi dan tidak dapat pernah dilepaskan dari situasi.
Titik Tolak pemikiran : Masalah dualisme
Masalah dualisme, pemisahan jiwa dan badan menjadi masalah abadi dalam dunia filsafat. Perbincangan filosofis mengenai dualisme terus mewarnai tradisi filsafat Barat sampai saat ini. Ada tendensi untuk membuat pemisahan yang tegas, misalnya di awal masa modern, Rene Descartes, merumuskan manusia sebagai l’homme machine (manusia mesin), di mana badan dikemudikan oleh substansi lain, yaitu jiwa. Hasil akhir pemikiran tentang dualisme ini berkisar pada dua kemungkinan, yaitu mengasalkan manusia pada materi (realisme) atau mengasalkan manusia pada kesadaran (idealisme). Maurice Merleau-Ponty berusaha mengatasi masalah dualisme melalui suatu usaha sistematis dan metodis.
Fenomenologi sebagai Metode
Ponty berangkat dari intensionalitas Husserl yang menunjukkan hubungan antara kesadaran dengan objek. Pada Ponty ia berupaya untuk melukiskan kaitan subjek dengan dunianya, subjek dengan dunia bersifat prarefleksif, artinya mendahului segala refleksi dan kesadaran, yang akan sangat berhubungan dengan taraf eksistensi. Husserl berpendapat tentang kembali kepada benda-benda itu sendiri dengan mengusahakan berbagai macam reduksi. Sedangkan Ponty lebih melihat reduksi tersebut sebagai “lebenswelt”, dalam artian bahwa reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman. Kodrat ilmu pengetahuan menurut Ponty adalah berupaya seobjektif mungkin menganalisis sesuatu. “Sientisme” diartikan membuat kebenaran ilmiah menjadi kebenaran pada umumnya. Sientisme melupakan bahwa sikap ilmiah selalu berakar dalam pengalaman prailmiah dalam artian dalam realitas yang kita alami sehari-hari. Hubungan antara pengetahuan dan pengalaman prailmiah dapat menjadi lebih jelas jika memandang paham tersebut dalam konteks ruang dan waktu. Bagi ilmu pengetahuan atau lebih jelas sientisme ruang yang abstrak dan geometris adalah ruang yang asali, ruang yang sebenarnya, keadaan dijungkirbalikkan pada kenyataan ruang geometris di dasarkan pada ruang yang kita alami dalam hidup sehari-hari dan tidak sebaliknya. Waktu lebih dipahami sebagai sebuah kehadiran (saya sebagai subjek), namu dalam kehadiran itu saya masih menahan masa lampau dan mendahului masa depan.
Sebagai alat analisis fenomenologi memiliki kemungkinan luas dalam
merumuskan struktur-struktur penghayatan yang belum dirumuskan melalui
refleksi ilmu-ilmu. Fenomenologi merupakan metode yang berusaha
melukiskan apa yang tampak secara langsung bagi kesadaran, yaitu
fenomen. Menurut Husserl kesadaran itu mampu menangkap dunia secara
langsung karena kesadaran selalu terarah pada dunia. Kesadaran selalu
berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran selalu memiliki dua kutub
yaitu sesuatu yang menyadari (noesis) dan yang disadari (noema).
Kesadaran sendiri tidak pernah sebagai kesadaran pada dirinya,
sebagaimana dipahami oleh Descartes, melainkan bersifat intensional.
Kenyataan itu “menampakkan diri”. Fenomenologi Husserl di atas diikuti
oleh Merleau-Ponty. Namun demikian ada beberapa perbedaan dasariah.
Perbedaan itu terletak pada pendiriannya tentang intensionalitas dan
reduksi fenomenolgis. Menurut Merleau-Ponty intensionalitas dipahami
sebagai relasi ontologis pada taraf eksistensial, yaitu menyangkut
totalitas cara berada manusia di dunianya, sementara Husserl menempatkan
intensionalitas pada pengenalan epistemologis. Menurut Merleau-Ponty
hubungan antara manusia dengan dunianya bersifat pra-sadar oleh karena
itu intensionalitas juga bersifat pra-sadar. Merleau-Ponty menolak
reduksi eidetis yang dikemukakan oleh Husserl. Husserl mengembalikan
kenyataan-kenyataan konkret pada hakekatnya. Merleau-Ponty memahami
eksistensi sebagai suatu hakekat, meskipun bukan suatu tujuan melainkan
hanyalah tahap peralihan atau sarana untuk mencapai tujuan yang
sebenarnya, yaitu memahami eksistensi yang dihayati.
Tubuh dan Persepsi
Tubuh dan Persepsi
Presepsi oleh Ponty diartikan meliputi seluruh hubungan kita dengan
dunia, khususnya pada taraf indrawi. Presepsi adalah jalan masuk kepada
kebenaran, karena itu presepsi memiliki prioritas terhadap rasio.
Berpresespsi atau mengamati sama dengan percaya pada dunia. Manusia
dapat dilukiskan sebagai berada dalam dunia, dan persepsi adalah relasi
asli kita dengan dunia. Persepsi secara radikal beda dengan pengetahuan
absolut, persepsi mengambil bagian dalam ambiguitas eksistensi manusia.
Dalam persepsi, terang tercampur dangan kegelapan, indera tidak
dipisahkan dengan rasionalitas dan subjektivitas anonim mendahului
subjektivitas yang bening bagi dirinya sendiri. Melalui keterkaitannya
dengan tubuh, presepsi sangat berkaitan erat dengan tubuh. Tubuh
mengetahui lebih banyak dunia daripada kita sendiri, dalam artian
hubungan antara subjek dengan dunia, tubuh ternyata memainkan peranan
sebagai subjek (tubuh adalah subjek presepsi). Tubuh bukanlah alat yang
dapat dipakai oleh subjek. Tubuh dan subjek bukan merupakan dua hal,
tetapi tubuh sendiri adalah subjek. Tubuh dalam berbagai konteks akan
memperlihatkan makna, dan persepsi adalah tarap paling mendasar di mana
hal tersebut tampak.
Melalui konsep persepsi, Merleau-Ponty yakin telah mengatasi masalah dualisme jiwa dan badan. Persepsi di sini lain sama sekali dengan pemahaman empirisme dan intelektualisme. Menurut Merleau-Ponty persepsi merupakan suatu intensi dari seluruh ada kita, yaitu suatu cara mengada yang terletak dalam dunia pra-obyektif, yang disebutnya Etre-au-monde. Persepsi menunjukkan bahwa manusia itu mendunia, berada-di-dunia. Dengan memahami persepsi sebagai intensi dari seluruh cara mengada kita di dunia ini, tubuh manusia dipahami sebagai tubuh-subyek (le corpsujet) dan bukan tubuh-obyek atau badan. Manusia bertubuh adalah cara mengadanya di dunia. Tubuh itu milikku, merupakan bagian dari eksistensiku sendiri. Tubuh milikku kuhayati dan karena itu aku mendunia. Bagaimana hubungan antara tubuh dan persepsi ? Tentang hubungan persepsi dengan tubuh, Merleau-Ponty menggunakan sebuah ilustrasi tangan-kaki hantu (phantom limb), suatu gejala aneh yang dialami oleh seorang pasien yang tangan dan kakinya diamputasi tetapi tetap merasakan adanya penginderaan pada bagain yang telah diamputasi itu. Bagaimana gejala ini dijelaskan? Gejala ini tidak hanya bersifat fisiologis juga tidak hanya bersifat psikologis. Fisiologi menjelaskan gejala itu sebagai kehadiran (presensi) aktual dari suatu representasi. Dengan demikian fisiologi memandang tubuh sebagai obyek, yang merupakan tubuh pada dirinya sendiri, tubuh pada umumnya, yaitu yang terlepas dari fakta kesejarahan pasien. Inilah yang disebut sebagai en-soi.
Melalui konsep persepsi, Merleau-Ponty yakin telah mengatasi masalah dualisme jiwa dan badan. Persepsi di sini lain sama sekali dengan pemahaman empirisme dan intelektualisme. Menurut Merleau-Ponty persepsi merupakan suatu intensi dari seluruh ada kita, yaitu suatu cara mengada yang terletak dalam dunia pra-obyektif, yang disebutnya Etre-au-monde. Persepsi menunjukkan bahwa manusia itu mendunia, berada-di-dunia. Dengan memahami persepsi sebagai intensi dari seluruh cara mengada kita di dunia ini, tubuh manusia dipahami sebagai tubuh-subyek (le corpsujet) dan bukan tubuh-obyek atau badan. Manusia bertubuh adalah cara mengadanya di dunia. Tubuh itu milikku, merupakan bagian dari eksistensiku sendiri. Tubuh milikku kuhayati dan karena itu aku mendunia. Bagaimana hubungan antara tubuh dan persepsi ? Tentang hubungan persepsi dengan tubuh, Merleau-Ponty menggunakan sebuah ilustrasi tangan-kaki hantu (phantom limb), suatu gejala aneh yang dialami oleh seorang pasien yang tangan dan kakinya diamputasi tetapi tetap merasakan adanya penginderaan pada bagain yang telah diamputasi itu. Bagaimana gejala ini dijelaskan? Gejala ini tidak hanya bersifat fisiologis juga tidak hanya bersifat psikologis. Fisiologi menjelaskan gejala itu sebagai kehadiran (presensi) aktual dari suatu representasi. Dengan demikian fisiologi memandang tubuh sebagai obyek, yang merupakan tubuh pada dirinya sendiri, tubuh pada umumnya, yaitu yang terlepas dari fakta kesejarahan pasien. Inilah yang disebut sebagai en-soi.
Cara pikir ini memilih suatu pemikiran yang impersonal, yaitu suatu
pemikiran yang tidak bersituasi. Pemikiran ini memiliki suatu keyakinan
bahwa pemisahan antara situasi peneliti dan sifat-sifat obyek dalam
penelitian mungkin dilakukan. Dalam arti ini tubuh menjadi tubuh pada
umumnya. Sementara itu Psikologi menjelaskannya sebagai representasi
dari suatu kehadiran (presensi) aktual, yaitu sebagai ingatan, persepsi
akan adanya tangan atau kaki yang telah hilang itu. Dalam kedua
penjelasan ini ada perlawanan kontradiktoris yang tidak memberi
kemungkinan ketiga. Baik psikologi maupun fisiologi gagal menjelaskan
gejala ini secara memuaskan, karena adanya fakta kontradiktoris yang
saling berhadapan yaitu antara rasa kehadiran (presensi) dan rasa
absensi yang tidak memungkinkan adanya kemungkinan ketiga. Gejala ini
bersifat jasmani sekaligus rohani. Menurut Merleau-Ponty fenomena kaki
tangan hantu di atas harus dipahami sebagai suatu kesadaran yang hadir
di dunia dengan menubuh.
Orang yang mengalami fenomen ini mirip dengan pengalaman seseorang
yang masih merasakan kehadiran seorang sahabat karib meskipun sahabatnya
itu telah lama meninggal. Pengalaman itu mungkin karena dihayati dalam
cakrawala kehidupan subyek, yaitu dalam Lebenswelt-nya. Menurut
Merleau–Ponty, tubuh adalah wahana dari cara mengada manusia yang
disebutnya Etre-au-monde. Tubuhku menunjukkan bahwa aku dan
duniaku saling terlibat. Melalui tubuhku aku mengenali obyek-obyek di
sekitarku, aku memeriksanya dari segi yang satu ke segi yang lain
sehingga dengan cara itu aku menyadari duniaku dengan perantaraan
tubuhku. Tubuhku adalah subyek, karena melalui tubuh sikap-sikap
subyektifku kukenali sendiri. Melalui tubuh aku mengungkapkan
eksistensiku, karena aku dikenal sebagai subyek melalui tubuhku. Melaui
tubuhku aku memaknai dan memberi bentuk kepada obyek-obyek. Suatu kubus
kukenali sebagai kubus, suatu bentuk yang bersisi enam dan identik satu
sama lain, karena aku memeriksanya dari segi-ke-segi dengan tubuhku.
Akhirnya , tubuhku adalah subyek karena melaui tubuhku itu aku mengada
di dunia. Tidak dapat dibayangkan sebuah kehadiran tanpa tubuh.
Ambiguitas Etre-au-monde
Konsep ambiguitas dituangkan dalam bukunya “Une Philosophie de l’
ambiguite”, dunia di mana kita hidup atau realitas yang kita alami
tidak pernah dapat direduksi kepada satu arti saja. Ponty mengungkapkan
bahwa kebenaran tidak pernah definitif dan absolut berfilsafat adalah
bertanya, filsafat bukanlah orang yang tau, melainkan orang yang
sebenarnya tidak tau, dan ingin mencari tau. Ambiguitas pemikiran Ponty
juga terlihat dalam menanggapi pemikiran realisme dan idealisme,
subjektivitas dan objektivitas. Realisme menyatakan bahwa realitas
seluruhnya dapat dikenal secara objektif, sesutau yang tertutup dan
bergantung kepada mansia. Sedangkan, idealisme mengasalkan seluruh
realitas pada roh manusiawi, tidak ada realitas terlepas dari pemikiran.
Titik tolak idealisme adalah “cogito” yang menekankan pada aspek
ke-subjektivitas-an. Namun, menurut Ponty pemikiran kita tidak pernah
mengerti realitas dengan tuntas, dan subjek ,mengenal tidak pernah
merupakan subjek yang mengenal belaka. Ia menolak mengorbankan subjek
kepada dunia atau dunia kepada subjek. Ponty sangat menekankan hubungan
dialektis antara subjek dan dunianya, tidak ada subjek tanpa dunia, dan
tidak ada dunia tanpa subjek.
Menurut Merleau-Ponty, Etre-au-monde sebagai cara mengadaku di dunia mengandung paradoks. Paradoks ini terlihat dari pertautan antara en-soi (benda) dan pour-soi (kesadaran murni) yang terjadi secara dialekstis. Untuk menjelaskan hal ini Merleau-Ponty menggunakan sebuah ilustrasi tentang tubuh yang “mengalami penginderaan ganda”. Jika aku menyentuh tangan kananku dengan tangan kiriku, maka tangan kananku bertindak sebagai pihak yang “disentuh” (sebagai obyek) sedang tangan kiriku sebagai yang “menyentuh” (subyek). Tetapi jika keduanya kusilangkan bersamaan, hal itu tidak berarti telah terjadi dua penginderaan yang terjadi bersamaan karena persepsiku terhadap dua obyek yang berdampingan, melainkan suatu ambiguitas : kedua tangan beperan sebagai yang “disentuh” dan “menyentuh” secara bergantian. Pada suatu saat tangan yang satu merupakan en-soi dan pada saat yang lain pour-soi. Dengan demikian, tubuh yang merupakan cara mengadaku di dunia ini, merupakan perpaduan antara en-soi dan pour-soi. Tubuh merupakan kehadiran subyek di dunia.
Menurut Merleau-Ponty, Etre-au-monde sebagai cara mengadaku di dunia mengandung paradoks. Paradoks ini terlihat dari pertautan antara en-soi (benda) dan pour-soi (kesadaran murni) yang terjadi secara dialekstis. Untuk menjelaskan hal ini Merleau-Ponty menggunakan sebuah ilustrasi tentang tubuh yang “mengalami penginderaan ganda”. Jika aku menyentuh tangan kananku dengan tangan kiriku, maka tangan kananku bertindak sebagai pihak yang “disentuh” (sebagai obyek) sedang tangan kiriku sebagai yang “menyentuh” (subyek). Tetapi jika keduanya kusilangkan bersamaan, hal itu tidak berarti telah terjadi dua penginderaan yang terjadi bersamaan karena persepsiku terhadap dua obyek yang berdampingan, melainkan suatu ambiguitas : kedua tangan beperan sebagai yang “disentuh” dan “menyentuh” secara bergantian. Pada suatu saat tangan yang satu merupakan en-soi dan pada saat yang lain pour-soi. Dengan demikian, tubuh yang merupakan cara mengadaku di dunia ini, merupakan perpaduan antara en-soi dan pour-soi. Tubuh merupakan kehadiran subyek di dunia.
http://filsufgaul.wordpress.com/2009/06/12/maurice-merleau-ponty-fenomenologi-presepsi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar